Rabu 22 Oct 2025 15:13 WIB

OJK: DKI Jakarta Masuk Tiga Besar Kasus Investasi Bodong Nasional

Kerugian masyarakat capai Rp 142 triliun, literasi keuangan masih jadi tantangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat Provinsi DKI Jakarta masuk dalam tiga besar wilayah dengan laporan kasus aktivitas investasi bodong terbanyak sejak 2017 hingga Juni 2025.
Foto: dok Cyber University
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat Provinsi DKI Jakarta masuk dalam tiga besar wilayah dengan laporan kasus aktivitas investasi bodong terbanyak sejak 2017 hingga Juni 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat Provinsi DKI Jakarta masuk dalam tiga besar wilayah dengan laporan kasus aktivitas investasi bodong terbanyak sejak 2017 hingga Juni 2025. Laporan OJK menunjukkan sebanyak 1.107 kasus atau setara 12 persen dari total pengaduan nasional berasal dari Jakarta.

“Walaupun Jakarta memiliki akses informasi yang luas, tinggal cari di Google apakah legal atau ilegal, ternyata masih mendominasi dalam peringkat tiga besar pengaduan investasi ilegal,” kata Kepala Divisi Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Jabodebek, Andes Novytasary, dalam Podcast Rabu Belajar bertema ‘Pengenalan Produk Investasi dan Waspada Investasi Ilegal’ di Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Baca Juga

Andes menjelaskan, Jawa Barat menempati posisi pertama dalam pengaduan layanan investasi ilegal melalui Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti), dengan total 1.850 kasus (21 persen). Posisi kedua ditempati Jawa Timur dengan 1.115 kasus (13 persen).

Total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal dalam kurun delapan tahun terakhir mencapai Rp142,13 triliun. Sejak 2017 hingga Juni 2025, Satgas Pasti telah menghentikan kegiatan 13.228 entitas ilegal, terdiri atas 1.811 entitas investasi bodong, 11.166 pinjaman daring ilegal, dan 251 gadai ilegal.

Berbicara tentang maraknya fenomena investasi bodong, Andes menilai rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat menjadi salah satu penyebab utama. Berdasarkan survei OJK, tingkat literasi masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan baru mencapai sekitar 66 persen, sedangkan tingkat inklusi atau penggunaan produk mencapai 80 persen.

“Ini menunjukkan masyarakat Indonesia cenderung lebih dulu menggunakan produk dan layanan keuangan tanpa memahami manfaat dan risikonya masing-masing,” ujarnya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement