Ahad 05 Nov 2023 07:31 WIB

Curhatan Warga: Beras Mahal, Uang Belanja Serasa Cepat Habis

Awalnya, kenaikan harga sebesar Rp 2.000 per liter tak dirasa begitu besar.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sejumlah warga mengantre membeli beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) kualitas medium saat operasi pasar beras murah di pasar Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (2/11/2023).
Foto: Antara/Syaiful Arif
Sejumlah warga mengantre membeli beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) kualitas medium saat operasi pasar beras murah di pasar Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (2/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahalnya harga beras belakangan ini mulai dikeluhkan masyarakat. Pasalnya, beras sebagai bahan pokok utama, amat berpengaruh terhadap pengeluaran untuk pangan. 

Ulfa Arieza (30 tahun) seorang ibu rumah tangga warga Wates, Jawa Tengah, mengatakan, ia biasa membeli beras eceran di toko kelontong. Rata-rata harga beras saat ini, kata Ulfa sudah dihargai Rp 14 ribu per liter atau naik dari sebelumnya Rp 12 ribu per liter. 

Baca Juga

Menurut dia, awalnya kenaikan harga sebesar Rp 2.000 per liter tak dirasa begitu besar. Namun, lama-lama kelamaan mulai terasa karena beras menjadi bahan pangan yang pasti rutin dibeli. 

“Saya kurang perhatikan sama perintilan harga, tapi ya lama-lama terasa uang cepat habis. Misalnya uang Rp 100 ribu kok sekarang cepat habis,” kata Ulfa kepada Republika.co.id, Sabtu (4/11/2023). 

Sementara itu, Pramdia Arhando (30) warga Tangerang Selatan, menuturkan, biasa membeli beras jenis premium di toko ritel modern seharga Rp 69.500 untuk kemasan lima kilogram. Ia tak begitu merasa adanya kenaikan karena harga beras di toko ritel telah dipatok. 

Seperti diketahui, harga beras di toko ritel modern tidak mengalami fluktuasi karena sesuai dengan harga acuan pemerintah. 

Hanya saja, kata Pramdia, ia mulai khawatir akan kelangkaan beras seiring dengan masuknya masa paceklik beras di akhir tahun. Terlebih, ia juga mendengar kabar ihwal penggilingan padi banyak yang berhenti beroperasi karena tak memperoleh pasokan gabah. 

“Yang hilang saat ini itu beras SPHP (Bulog). Waktu itu sempat liat di grosir, Superindo, Indomaret. Sekarang tidak kelihatan lagi. Harus standby beras kalau (situasi) gawat,” ujarnya.

Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) mengakui masih kesulitan untuk memperoleh pasokan gabah yang siap digiling menjadi beras. Masa paceklik beras diproyeksi juga akan lebih panjang dari biasanya. Alhasil, tingginya harga beras akan dirasakan lebih lama oleh masyarakat. 

Ketua Umum Perpadi, Sutarto Alimoeso, menyampaikan, suplai gabah di penghujung tahun ini masih jauh dari kebutuhan penggilingan secara nasional. Mau tak mau, sebagian penggilingan memilih untuk berhenti produksi hingga suplai kembali normal. 

“Banyak (penggilingan) yang sudah tidak aktif. Ada yang mengatakan 40 persen tidak aktif,” kata Sutarto saat ditemui di Jakarta, Rabu (1/11/2023). 

Perpadi mencata, jumlah penggilingan padi kecil saat ini mencapai 160 ribuan atau yang mendominasi. Semantara kelas menengah sekitar 7.000 penggilingan dan skala besar ada 1.700 perusahaan. 

Sutarto menegaskan, saat ini memang masih terjadi over kapasitas penggilingan padi di Indonesia. Pasalnya, kemampuan produksi padi tidak diikuti dengan jumlah pertumbuhan industri penggilingan padi di tiap-tiap daerah. Sebagai catatan, rata-rata produksi beras masih sekitar 30 juta ton dalam lima tahun terakhir, dengan capaian tahun 2022 lalu sebanyak 31,5 juta ton. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement