Selasa 24 Oct 2023 09:04 WIB

BI Naikkan Suku Bunga, Kinerja Reksa Dana Babak Belur

Perlambatan laju pertumbuhan kredit mencerminkan laju pertumbuhan daya beli.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi pasar modal Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi pasar modal Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja reksa dana dalam sepekan terakhir cenderung mengalami pelemahan. Dari seluruh kelas aset, hanya reksa dana pasar uang yang mampu membukukan penguatan, selebihnya terkoreksi cukup dalam.

Sentimen yang paling menjadi perhatian pasar yakni keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya ke level enam persen. "Ini di luar ekspektasi pelaku pasar," kata tim riset Infovesta Utama, Senin (23/10/2023).

Baca Juga

Pasar juga disajikan rilis data pertumbuhan kredit yang menunjukkan laju perlambatan. Dari global, sentimen utama berasal pernyataan terbaru Gubernur The Fed yang masih hawkish. Dari China, PDB kuartal III 2023 juga terpantau tumbuh melambat. Adapun reksa dana pasar uang berhasil menguat tipis pada pekan lalu sebesar 0,07 persen. Sedangkan reksa dana pendapatan tetap turun 0,72 persen. Reksa dana campuran terkoreksi 0,93 persen dan reksa dana saham turun terdalam sebesar 1,73 persen.

Investor asing mencatatkan net sell di pasar saham mencapai Rp 3,29 triliun. Aksi net sell dominan terjadi pada saham BBRI, TLKM, dan GOTO. Sentimen penggerak pasar dari domestik yakni rilis data kredit menunjukan perlambatan pertumbuhan ke level 8,96 persen dari sebelumnya 9,06 persen. 

Perlambatan laju pertumbuhan kredit mencerminkan laju pertumbuhan daya beli masyarakat. Meningkatnya beberapa harga bahan pangan dan harga bahan bakar non-subsidi, membuat masyarakat lebih memilih untuk mempertimbangkan kembali dalam melakukan konsumsinya. 

"Laju pertumbuhan kredit dapat berimplikasi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi," kata tim riset Infovesta Utama. 

Di sisi lain, rilis data neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan peningkatan surplus pada September. Kinerja ini terutama didorong dari perdagangan nonmigas (besi, baja, produk logam mulia, perhiasan, dan nikel). Sedangkan dari sisi migas masih mencatatkan angka defisit sejalan dengan kenaikan impor minyak mentah. 

Melihat tren harga minyak global kembali menguat salah satu faktornya imbas dari pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC+ dan Rusia. Dari domestik, dampak dari fenomena El Nino yang mendorong penggunaan energi bahan bakar terutama dalam aktivitas produksi, hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri terhadap laju inflasi ke depan. 

Pasar obligasi bergerak bearish dalam sepekan terakhir. Imbal hasil SUN 10 tahun naik sebesar 38 bps ke level 7,16 persen. Kurs spot rupiah terdepresiasi 0,98 persen ke level 15.856 per dolar AS.

Sentimen penggerak pasar obligasi yakni hasil RDG-BI menaikan suku bunga menjadi 6,00 persen. Kenaikan BI-7DRR diluar ekspektasi pelaku pasar sehingga menjadi sentimen negatif untuk pasar obligasi domestik.

Sentimen dari global, testimoni terbaru dari Gubernur The Fed, Jerome Powell yang mengatakan saat ini kebijakan moneter belum terlalu ketat dan inflasi belum turun signifikan menjadi sinyal bahwa The Fed masih akan meneruskan kebijakan suku bunga tinggi dalam waktu yang lama.

Dalam sepekan kedepan, pada pasar saham, investor diharapkan dapat lebih selektif lagi dalam memilih saham dengan melihat fundamental yang masih tergolong undervalued. Sedangkan pada pasar obligasi, investor dapat membeli obligasi jangka pendek dengan valuasi yang lebih menarik dan mengurangi risiko tingginya ketidakpastian pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement