REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Pengeboran sumur minyak dan gas bumi masih tetap dibutuhkan kendati pemerintah Indonesia juga mengkampanyekan transisi kepada penggunaan energi baru terbarukan. Pengeboran sumur baru dibutuhkan selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga demi mencegah ketergantungan impor minyak nasional yang kian bertambah.
Kepala SKK Migas dalam pembukaan International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas Industry 2023 di Nusa Dua Bali, Rabu (20/9/2023), Dwi Sutjipto mengungkapkan, ia meyakini sektor migas akan tetap relevan seiring pengembangan EBT di Indonesia.
“Khususnya untuk gas, yang akan memainkan peran lebih strategis sebagai sebuah energi transisi dalam menyediakan keamanan negeri untuk bisa mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Dwi.
Dwi mengatakan, tantangan Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dapat dilakukan secara bersaman dengan upaya peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Karenanya, menurut Dwi, diperlukan aktivitas agresif untuk mengebor sumur sampai tahun 2025 dan seterusnya.
Namun, untuk bisa melakukan pengeboran sumur-sumur baru, Indonesia membutuhkan investasi yang tak sedikit. SKK Migas mencatat setidaknya dibutuhkan investasi 20 miliar dolar AS per tahun untuk mengejar target produksi minyak 1 satu juta barrel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030.
“Untuk bisa menarik lebih banyak investasi lagi, kita harus lebih berkompeten dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, banyak pekerjaan yang perlu kita lakukan secara khusus terkait hukum dan aspek kontraktual dalam meningkatkan eksplorasi,” ujarnya.
Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, menambahkan, rata-rata konsumsi minyak nasional saat ini telah mencapai 1,6 juta barel per hari. Sementara, tingkat produksi minyak baik dari lapangan migas dalam dan luar negeri hanya 600-700 barel per hari.
“Maka, tidaklah ada cara lain kalau kita cuma mengharap sumur-sumur yang ada. Itu susah untuk mencapai target kita,” ujarnya menambahkan.
Bahlil mengatakan, hanya ada dua cara untuk mempertahankan ketahanan energi nasional. Yakni dengan mengebor sumur baru atau mengefektifkan sumur-sumur lama yang 70 persennya dikelola oleh PT Pertamina.
Ia sekaligus menekankan, upaya pemerintah untuk menawarkan investasi hulu migas ke pihak asing tak lain karena Indonesia kekurangan investor dalam negeri. Terlebih lagi, nilai investasi pengeboran sumur migas memakan dana hingga triliunan.
“Investor hulu migas ini tidak banyak dan hampir seluruh dunia berikan sweetener (insentif) agar mereka (investor) bisa masuk,” katanya.