REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingginya suku bunga acuan yang dipatok Bank Indonesia (BI) tentu saja berdampak kepada bank pelat merah atau BUMN. Sayangnya, baik BI maupun OJK dinilai kurang transparan menyangkut kondisi perbankan BUMN.
Hal itu disampaikan Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/8/2023). "Jangan sampai kondisi memburuk kemudian negara harus menanggung rekap perbankan (BLBI), seperti kejadian 1998," kata Deni.
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari kenaikan suku bunga, kata Deni, perbankan bisa melakukan sejumlah langkah. Pertama, menyesuaikan struktur aset dan kewajiban bank sesuai dengan profil risiko suku bunga.
"Bank harus memperhatikan jangka waktu dan sensitivitas suku bunga dari aset dan kewajiban bank. Bank harus mengurangi mismatch antara aset dan kewajiban yang memiliki jangka waktu dan sensitivitas suku bunga yang berbeda," kata Deni.
Kedua, lanjutnya, meningkatkan efisiensi operasional bank untuk mengurangi biaya operasional. Bank harus melakukan rasionalisasi cabang, optimalisasi sumber daya manusia, pengembangan teknologi informasi, dan peningkatan layanan nasabah.
"Ketiga, meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan bank untuk mengurangi ketergantungan pada pendapatan bunga. Bank harus mengembangkan produk dan layanan non-bunga, seperti fee-based income, treasury income, dan bancassurance," kata Deni.
Terakhir, lanjut Deni, meningkatkan kualitas kredit bank untuk mengurangi risiko gagal bayar. Bank harus melakukan analisis kredit yang lebih ketat, pemantauan kredit yang lebih intensif, restrukturisasi kredit yang bermasalah, dan peningkatan cadangan kerugian penurunan nilai.
"Permasalahannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak transparan menjelaskan progress dari beberapa poin tadi kepada publik. Sejauh mana bank BUMN telah melakukannya. Jika OJK tidak transparan, maka bukannya tak mungkin bank BUMN akan kembali direkapitaliasi lagi," terang Deni.
Sementara itu, lanjut Deni, BI memiliki dua peran penting dalam pasar surat utang negara (SUN), yaitu sebagai pembeli SUN dan sebagai pengawas bank.
Sebagai pembeli SUN, BI bertujuan untuk mendukung kebijakan moneter dan fiskal pemerintah, serta mengelola cadangan devisa negara. Sebagai pengawas bank, BI bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mencegah risiko kredit macet.
"Namun, kedua peran ini dapat menimbulkan konflik interest, karena BI dapat mempengaruhi harga dan permintaan SUN di pasar, serta menentukan tingkat bunga acuan yang berdampak pada biaya modal bank khususnya BUMN," paparnya.
Konflik kepentingan ini, kata Deni, dapat mengurangi efektivitas kebijakan moneter dan fiskal, serta menimbulkan distorsi alokasi sumber daya dan moral hazard dalam pengawasan Bank BUMN. "Janganlah lupa bahwa moral hazard juga bagian utama dari rekapitalisasi bank BUMN pada 1998," kata dia.
Berdasarkan data BI, total biaya langsung rekapitalisasi bank BUMN pada 1999 mencapai Rp 432,5 triliun. Atau setara 55 persen dari PDB tahun 1998.
Biaya langsung ini terdiri dari Rp 144,5 triliun untuk rekapitalisasi bank-bank BUMN yang masih beroperasi. Kemudian Rp 288 triliun untuk menutup kerugian bank-bank BUMN yang dilikuidasi.
Sementara itu, biaya tidak langsung rekapitalisasi bank BUMN sulit untuk diukur secara pasti. Namun beberapa studi telah mencoba untuk mengestimasinya dengan menggunakan berbagai asumsi dan skenario.
Salah satu studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2000 memperkirakan bahwa biaya tidak langsung rekapitalisasi bank BUMN berkisar antara Rp1.200 triliun hingga Rp2.400 triliun. Atau sekitar 150 persen hingga 300 persen dari PDB tahun 1998.