REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perkebunan kelapa sawit dinilai berkontribusi menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan ekonomi nasional. Produk sektor ini tidak hanya diserap pasar lokal, tapi juga diekspor ke berbagai negara.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat kinerja sektor kelapa sawit dalam negeri melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Produktivitas minyak nabati dari sawit justru menempati posisi teratas dibanding komoditi lainnya dengan kisaran 65 juta ton.
Padahal secara luasan lahan, area kebun sawit jauh lebih kecil dibandingkan lahan komoditi penghasil minyak nabati lainnya. Dari total 277 juta hectare (ha) area lahan tanaman produksi minyak nabati di Indonesia, total area sawit hanya 16 juta ha. Jumlah ini kalah jauh ketimbang luas perkebunan bunga matahari (sunflower) yang totalnya 25 juta ha, rapeseed 36 juta ha, kedelai (soybean) 122 juta ha dan jagung sebanyak 77 juta ha.
“Ini bukti sawit merupakan komoditas minyak dunia dengan produktivitas lahan yang paling baik dibandingkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menjadi pilihan paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yang semakin bertumbuh,” ungkap Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal Sutawijaya dalam seminar nasional bertema ‘Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan’ yang di Jakarta pada Selasa (8/8/2023).
Kendati begitu, keberlanjutan industri sawit di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Ada saja tantangan internal maupun eksternal yang muncul. Mulai dari persoalan produktivitas yang masih dinilai rendah, stigma atau kampanye negatif tentang kaitan sawit dengan isu kerusakan lingkungan dan deforestasi, legalitas perizinan usaha, hilirisasi industri, hambatan ekspor di negara tujuan, hingga munculnya gangguan atau konflik dengan perkebunan milik rakyat.
Maulizal mencontohkan berbagai hambatan yang dilakukan Eropa terhadap produk minyak sawit Indonesia. Menurut dia, stigma negatif itu merupakan trik perang dagang karena mereka tidak mau produk minyak nabati sejenis seperti bunga matahari, kedelai, hingga jagung kalah bersaing dari sawit.
Dia menekankan Indonesia tidak boleh kalah dengan pola kampanye negatif tersebut. Karena itu, sektor hulu hingga ke hilir di dalam negeri juga perlu diperkuat dengan integrasi. Beberapa langkah strategis itu antara lain perbaikan kesejahteraan petani, stabilitasi harga CPO, dan memperkuat industri hilir melalui dukungan riset.
Perbaikan kesejahteraan petani misalnya dengan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang telah dilakukan sejak 2016. Luas lahan mencapai 282.000 ha yang dikelola oleh 124.000 orang. Adapun dukungan dana BPDPKS yang telah tersalurkan mencapai Rp7,52 triliun.
“Tapi PSR tidak berarti berjalan mulus. Penurunan capaian kinerja program PSR terutama disebabkan oleh kendala terhadap pemenuhan persyaratan, seperti keterangan tidak berada di kawasan hutan dan kawasan lindung gambut, serta tidak berada di lahan HGU,” terang dia.
Program ini diharapkan mampu mendukung ekonomi masyarakat perkebunan sawit menjadi lebih sejahtera. Tidak dimungkiri sistem jual beli sawit saat ini tidak memiliki acuan berarti. Mekanisme masih bebas antara petani swadaya dengan perusahaan, bahkan ada terlibat dengan tengkulak.
Karena itu, Maulizal menilai pemerintah harus cepat tanggap dalam menyusul kebijakan yang tepat untuk melindungi para pengusaha hingga petani kecil. Misalnya, regulasi terkait bursa saham atau harga sawit yang dapat menjaga stabilitas harga di tingkat petani, perusahaan besar swasta, dan importir.
“Menjaga agar harga petani swadaya tetap terjaga. Selama ini harga hanya ditentukan bebas, hanya lewat WA (Whatsapp) saja. Apalagi ada yang jualnya ke cukong (tengkulak),” ujarnya.
BPDPKS menilai perlindungan terhadap industri kelapa sawit harus diatur dengan kebijakan yang tepat sehingga sektor perkebunan ini terus bertumbuh dan tidak menyengsarakan terutama petani kecil. Sinergi lintas kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah dan masyarakat perkebunan menjadi kunci dalam menjaga ekosistem sawit tetap berlanjut secara positif.
Terlebih lagi, sektor kelapa sawit Indonesia sejak 2000 telah membantu 10 juta orang keluar dari kemiskinan, termasuk di antaranya 1,3 juta orang di pedesaan terangkat langsung dari garis kemiskinan karena industri kelapa sawit.