Selasa 01 Aug 2023 20:11 WIB

Ada Pembatasan Ekspor, Petani Kopi Harap Pemerintah Bisa Lobi Eropa

Syarat yang diajukan Eropa dinilai akan memberatkan petani kopi.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petani memanen kopi Robusta petik merah di Desa Kali Banger, Gemawang, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (20/7/2023).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Petani memanen kopi Robusta petik merah di Desa Kali Banger, Gemawang, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (20/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Eropa yang membatasi ekspor Indonesia terhadap komoditas kopi dinilai dapat merugikan petani kopi Indonesia. Ketua Departemen Specialty dan Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo menjelaskan, syarat yang diajukan Eropa akan memberatkan petani kopi.

"Ini menyebabkan ketidakpastian kepada petani. Hambatan dokumentasi dan lain-lain itu problem berat. Petani kopi itu pendidikannya tidak terlalu tinggi. Lalu, dengan adanya UU ini (aturan antideforestasi Eropa), sertifikasi bagaimana otentiknya dan biayanya siapa yang menanggung? Tidak mungkin kita bebani ke petani kopi kecil. (Lahan) tidak lebih dari 1 hektare, produksinya rata-rata hanya 1 ton," tutur Moelyono di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

Baca Juga

Moelyono menjelaskan, pada tahun ini petani kopi menghadapi tantangan pengurangan produksi karena kondisi iklim. Produksi kopi menurun imbas kemarau basah yang terjadi pada 2022.

Imbas musim kemarau basah ini, Moelyono mengatakan, potensi penurunan produksi kopi bisa mencapai 25 persen. Sedangkan penurunan ekspor bisa 30 hingga 35 persen.

"Karena kebutuhan dalam negeri juga tinggi, jadi harus diserap di dalam negeri dulu," kata Moelyono.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengaku tak habis pikir oleh kebijakan Uni Eropa yang melihat produk ekspor Indonesia seperti kopi, kelapa sawit, dan kokoa Indonesia melanggar semangat pengurangan emisi karbon yang diusung oleh Eropa. Apalagi, kata Zulhas, tak sedikit dari Komite Parlemen Eropa bahkan tak sadar bahwa kopi yang mereka konsumsi setiap hari berasal dari Indonesia. 

"Ada mereka itu yang belum pernah ke Indonesia, tidak tahu Indonesia," ungkap Zulhas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement