REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menegaskan keselamatan angkutan ferry di Indonesia sudah berstandar internasional. Hal ini menyusul adanya penilaian International Maritim Organization (IMO) terhadap Indonesia, memasukan nama Indonesia dalam jajaran negara dengan keselamatan yang rendah bersama Bangladesh dan Philipina sebagai negara berkembang secara global.
Ketua Dewan Pembina Gapasdap Bambang Haryo Soekartono mengatakan parameter keselamatan yang disematkan IMO bukanlah kesalahan dari perusahaan pelayaran yang tergabung dalam asosiasi terutama Gapasdap.
"Sekarang ini, ada regulasi non konvensi yang di adopt oleh Indonesia tetapi malah di atas dari aturan regulasi safety of life at sea (solas) justru cenderung highly regulated dan mengacu kepada aturan Australia yang diatas aturan solas, dan bahkan beberapa negara maju menggunakan aturan non konvensi yang di bawah solas, seperti misalnya Jepang dengan menggunakan Japanese Government, Kanada dengan Government of Canada dan Filipina dengan Marina Philippine Government transportasi domestik lautnya,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (29/7/2023).
“Demikian juga beberapa negara kepulauan lainnya. Sementara Indonesia mengacu pada aturan konvensi solas dan bahkan non-konvensi yang jauh di atas aturan solas aturan domestiknya,” tambahnya.
Dikatakan oleh Alumni ITS Perkapalan ini, aturan konvensi itu juga telah dilakukan oleh perusahaan perusahaan pelayaran laut dibawah asosiasi INSA dan asosiasi PELRA. Dan semua kapal kapal dibawah asosiasi asosiasi tersebut telah terdaftar di IMO dan mengacu pada aturan solas.
"Untuk diketahui di luar daripada anggota asosiasi asosiasi pelayaran tersebut, ternyata masih banyak kapal-kapal yang belum terdaftar IMO sehingga mereka tidak menggunakan aturan SOLAS dan bahkan tidak dikelaskan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) walaupun mereka berlayar di Indonesia, itulah yang sebenarnya keselamatannya yang di bawah standarisasi yang juga menjadi penilaian IMO," ucapnya.
Di Indonesia hanya ada 13 ribu kapal yang terdaftar IMO sesuai dengan data UNCTAD 2022, termasuk di dalamnya seluruh kapal kapal ferry yang ada di Indonesia. Sedangkan jumlah kapal yang terdaftar pemerintah/Kementerian Perhubungan dan Kementerian KKP ada 82 ribu kapal (Data Dephub 2019) termasuk 13 ribu Kapal yang tercatat IMO, sedangkan sisanya lebih dari 60 ribu kapal tidak terdaftar IMO, sehingga untuk melakukan pendaftaran, semua kapal kapal di Indonesia yang belum terdaftar IMO, itu adalah tugas daripada pemerintah.
Demikian juga klasifikasi yang mengatur aturan keselamatan yaitu BKI hanya baru bisa mendaftarkan kapal kapal di Indonesia jumlahnya sekitar 40 ribu kapal. Termasuk di dalam seluruh kapal ferry yang ada di Indonesia.
“Inilah yang mengakibatkan penilaian IMO di Indonesia terhadap semua kapal kapal yang ada di Indonesia masuk dalam kategori penilaian yang rendah dari dunia internasional,” ucapnya.
Menurutnya BKI masih belum diakui oleh dunia pelayaran Internasional karena belum menjadi member IACS (International Association of Classification Societies), sehingga Klasifikasi Indonesia yang diwajibkan oleh UU 17 tentang Pelayaran belum memenuhi syarat kepentingan internasional dan ini menjadi salah satu pertimbangan dan penilaian internasional termasuk IMO.
“Karena angkutan ferry di Indonesia sudah mengacu kepada aturan keselamatan Internasional yang tertinggi, maka seharusnya pemerintah bersama seluruh asosiasi pengusaha pelayaran untuk mensosialisasikan kepada masyarakat baik domestik maupun Internasional tentang aturan keselamatan angkutan ferry sudah sangat baik dan jauh lebih baik daripada aturan keselamatan yang ada negara maju,” ucapnya.