REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan kerugian masyarakat akibat investasi ilegal sejak tahun 2018 hingga 2022 mencapai Rp 126 triliun.
"Bahkan kemungkinan angkanya lebih besar lagi, karena masih ada juga korban yang tidak melaporkan atau merupakan silent victim," kata Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito dalam Webinar Nasional Seri-2 bertajuk "Perlindungan Konsumen terhadap Kejahatan Keuangan Digital" di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Ia memerinci, kerugian tersebut terdiri dari senilai Rp 1,4 triliun pada tahun 2018, sebesar Rp 4 triliun pada tahun 2019, sebanyak Rp 5,9 triliun pada tahun 2020, sebesar Rp 2,54 triliun pada tahun 2021, serta senilai Rp 112,2 triliun pada tahun 2022.
Adapun penyebab maraknya investasi ilegal di Indonesia yakni bagi pelaku, kemudahan membuat aplikasi, web, dan penawaran melalui media sosial, serta banyak server di luar negeri. Sementara di kalangan masyarakat, penyebabnya yaitu mudah tergiur bunga tinggi dan belum paham investasi.
Sarjito membeberkan, terdapat lima ciri-ciri investasi ilegal. Pertama, menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat.
Kedua, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru (member get member). Ketiga, memanfaatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, atau figur publik untuk menarik minat berinvestasi.
Ciri keempat yakni klaim tanpa risiko. Kelima, legalitas yang tidak jelas seperti tidak memiliki izin usaha, memiliki izin kelembagaan seperti PT, Koperasi, CV, Yayasan, dan lainnya tetapi tidak punya izin usaha, serta memiliki izin kelembagaan dan izin usaha namun melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izinnya.
"Maka dari itu, masyarakat juga harus cerdas karena ini bukan hanya masalah literasi. Jika pinjol maupun investasi tersebut tidak memiliki izin OJK, sudah tinggalkan saja," tegasnya.