Senin 22 May 2023 16:38 WIB

Masyarakat Butuh Asuransi untuk Tingkatkan Kesejahteraan

Peningkatan literasi pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran berasuransi masyarakat.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Gita Amanda
Praktisi asuransi dan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Barkah Taim mengatakan, peran asuransi untuk ekonomi masyarakat dan perekonomian nasional mesti terus dioptimalkan. (ilustrasi).
Praktisi asuransi dan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Barkah Taim mengatakan, peran asuransi untuk ekonomi masyarakat dan perekonomian nasional mesti terus dioptimalkan. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah masyarakat di Indonesia yang menggunakan produk asuransi sampai saat ini masih kecil. Padahal produk asuransi memiliki manfaat yang besar dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

 

Baca Juga

Praktisi asuransi dan Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Barkah Taim mengatakan, peran asuransi untuk ekonomi masyarakat dan perekonomian nasional mesti terus dioptimalkan. Apalagi, sejak deregulasi keuangan pada 1988 yang disusul berdirinya banyak perusahaan asuransi di Indonesia saat ini, berarti sudah hampir 35 tahun keberadaan asuransi.

Menurut Abitani penetrasi asuransi mesti ditingkatkan. Dengan demikian, penetrasi asuransi di Indonesia pada 2021 yang sekitar 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), diharapkan bisa tumbuh lebih besar. Dalam konteks ini, semua pihak punya tanggung jawab bersama.

"OJK, Pemerintah dan stakeholder perasuransian bertanggung jawab untuk menjamin pertumbuhan industri yang berkelanjutan,’’ kata Abitani, Selasa (16/5/2023) lalu. 

Literasi, kepastian hukum, pelayanan pelanggan, perlindungan konsumen, dan peningkatan kapasitas perusahaan asuransi merupakan hal-hal yang harus terus dikembangkan. Ini semua untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi.

"Pada gilirannya akan menumbuhkan kesadaran berasuransi di masyarakat," jelas Abitani. Ia menambahkan, penetrasi asuransi yang masih perlu ditingkatkan, justru bisa menjadi peluang karena menunjukkan pasar asuransi masih terbuka luas.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan di atas lima persen per tahun juga merupakan peluang yang besar bagi industri perasuransian untuk berkembang. Abitani menyatakan, untuk mencapai ini, ada sejumlah tantangan yang harus ditangani.

Antara lain, kesadaran berasuransi rendah, keraguan sebagian masyarakat akibat kasus gagal bayar asuransi. Tantangan lainnya, permodalan terbatas, praktik pemasaran tak etis, penerapan GCG belum efektif, serta terbatasnya tenaga pengawas dari regulator.

OJK sebagai regulator melakukan transformasi pengawasan dan penguatan industri keuangan non bank khususnya asuransi. OJK menerapkan penguatan pada tiga layer. Pertama, penguatan organisasi di internal Lembaga Jasa Keuangan Nonbank (LJKNB), kedua, penguatan dari sisi lembaga profesi penunjang dan asosiasi industri di sektor IKNB, ketiga penguatan peran OJK dalam mengatur, mengawasi, dan melindungi konsumen sektor jasa keuangan melalui penerapan pengawasan secara terintegrasi dan penguatan pengawasan pada LJKNB bermasalah.

Dalam rangka mendorong peningkatan kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, OJK telah menerbitkan ketentuan terkait kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, baik konvensional maupun syariah pada POJK Nomor 5 Tahun 2023 dan POJK Nomor 6 Tahun 2023, yang diantaranya memuat aturan mengenai batasan penempatan investasi perusahaan asuransi pada pihak terkait dan bukan pihak terkait.

OJK pun berencana merevisi Peraturan OJK No 67 tahun 2016 untuk memperkuat permodalan perusahaan asuransi dan reasuransi. Berdasarkan peraturan permodalan yang saat ini berlaku, ekuitas minimun perusahaan asuransi konvensional hanya sebesar Rp 100 miliar. Bahkan ekuitas minimum perusahaan asuransi syariah jauh lebih rendah yaitu sebesar Rp 50 miliar.

Sementara itu, ekuitas minimum yang ditetapkan untuk perusahaan reasuransi konvensional tercatat sebesar Rp 200 miliar. Ekuitas dasar yang harus dipenuhi perusahaan reasuransi syariah juga lebih rendah yaitu Rp 100 miliar.

Ke depan, batas minimum permodalan ini akan ditingkatkan secara bertahap. Modal minimum perusahaan asuransi konvensional rencananya akan ditingkatkan menjadi Rp 500 miliar pada 2026 dan dinaikkan lagi menjadi Rp 1 triliun pada 2028.

Modal minimum perusahaan asuransi syariah juga akan ditingkatkan secara bertahap hingga Rp 500 miliar pada 2028. Adapun perusahaan reasuransi konvensional, modal minimumnya akan ditingkatkan secara bertahap menjadi Rp 2 triliun pada 2028 dan perusahaan reasuransi syariah akan ditingkatkan menjadi Rp 1 trilun pada tahun yang sama.

Untuk memperkuat pelindungan konsumen termasuk untuk para pemegang polis asuransi, OJK juga sudah memperkuat ketentuan pelindungan konsumen melalui POJK 6/2022 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat yang antara lain mengatur tentang pengawasan ‘market conduct’ atau perilaku perusahaan sektor jasa keuangan mulai dari merancang produk, pemasaran sampai penyelesaian sengketa dengan konsumen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement