REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, dukungan pendanaan iklim bagi negara berkembang harus konstruktif dan jauh dari kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan lingkungan. Dukungan pendanaan dalam bentuk seperti utang, menurutnya hanya akan menjadi beban.
Hal ini disampaikan Jokowi dalam pidatonya pada Sesi Kerja Mitra G7 yang membahas soal iklim, energi, dan lingkungan di Grand Prince Hotel Hiroshima, Jepang, pada Sabtu (20/5/2023).
“Saya harus sampaikan, jujur negara berkembang ragu terhadap komitmen pendanaan negara maju yang hingga kini komitmen 100 miliar dolar AS per tahun masih belum terpenuhi,” lanjut Jokowi, dikutip dari siaran pers Istana pada Ahad (21/5/2023).
Karena itu, Jokowi mendorong semua negara agar meningkatkan aksi konkret menghadapi ancaman perubahan iklim. Ia pun menyampaikan sejumlah aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia dalam menghadapi ancaman tersebut.
“Indonesia telah lakukan banyak hal seperti laju deforestasi turun signifikan dan terendah selama 20 tahun terakhir, rehabilitasi 600 ribu hektare hutan mangrove selesai di 2024, rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis, kebakaran hutan turun 88 persen, bangun 30 ribu hektare kawasan industri hijau, dan dorong pengembangan ekosistem EV,” kata Presiden.
Jokowi juga mendorong semua negara turut berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
“Pendekatan lama harus ditinggalkan, burden shifting, propaganda. Bumi ini butuh aksi nyata, bukan talk the talk yang tidak berujung konkret,” ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, Indonesia telah meningkatkan target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional. “Sebuah komitmen yang harus diikuti dengan kemitraan yang memberdayakan,” imbuhnya.