Kamis 09 Mar 2023 15:08 WIB

The Fed Masih akan Agresif Naikkan Suku Bunga, Bakal Outflow Lagi?

Kebijakan the Fed tak terlalu pengaruh ke pasar saham domestik sebab masih ada inflow

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Gedung kantor The Federal Reserve (ilustrasi). Bank Sentral AS, The Federal Reserve, menyatakan akan tetap agresif menaikkan suku bunga acuan atau fed fund rate (FFR) pada tahun ini. Hingga Februari 2023 lalu, FFR sudah berada di kisaran 4,5 persen-4,75 persen.
Foto: AP Photo/Manuel Balce Ceneta
Gedung kantor The Federal Reserve (ilustrasi). Bank Sentral AS, The Federal Reserve, menyatakan akan tetap agresif menaikkan suku bunga acuan atau fed fund rate (FFR) pada tahun ini. Hingga Februari 2023 lalu, FFR sudah berada di kisaran 4,5 persen-4,75 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Sentral AS, The Federal Reserve, menyatakan akan tetap agresif menaikkan suku bunga acuan atau fed fund rate (FFR) pada tahun ini. Hingga Februari 2023 lalu, FFR sudah berada di kisaran 4,5 persen-4,75 persen.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan, kebijakan the Fed yang cenderung hawkish akan berpotensi membuat volatilitas pasar global meningkat.  Kondisi tersebut sudah tecermin di pasar saham AS. "Investor cukup bergejolak, DJI, S&P 500 dan Nasdaq sempat mengalami penurunan karena adanya outflow," jelas Nafan di acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas, Kamis (9/3/2023).

Baca Juga

Meski demikian, menurut Nafan, kebijakan the Fed tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pasar saham domestik. Sebab sejak awal tahun, pasar saham masih mencatatkan aliran modal masuk atau inflow sekitar Rp 2,28 triliun. 

Nafan mengakui, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan tajam. Namun, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh investor untuk melakukan pembelian saham di harga yang murah, sehingga IHSG kembali menguat.

"Demikian halnya pasar obligasi juga mengalami inflow. Bisa dibilang likuiditas domestik terjaga dengan baik," kata Nafan.

Nafan menilai kondisi makroekonomi yang solid menjadi faktor utama investor masih optimistis terhadap pasar di Indonesia. Tingkat kemungkinan terjadinya resesi di Indonesia bahkan menurun dari lima persen menjadi dua persen. 

Di sisi lain, lanjut Nafan, nilai tukar rupian masih kuat. Meski saat ini berada di level 15.000-an, rupiah masih belum menyentuh level tertingginya. Daya tarik Indonesia juga didukung neraca perdagangan yang surplus sebanyak 33 bulan beruntun.

"Apalagi sekarang China sudah reopening borders, tentunya permintaan global bisa pulih kembali. Ada banyak faktor yang membuat investor asing masih optimistis karena indonesia relatif lebih aman," tutup Nafan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement