REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan pentingnya penguatan hilirisasi sumber daya alam (SDA) untuk meningkatkan nilai tambah guna memperkuat kapasitas dan ketahanan ekonomi nasional.
"Ini (hilirisasi) tidak saja meningkatkan nilai tambah perekonomian tapi juga pada akhirnya adalah efisiensi daya saing kita secara eksternal," kata Dody dalam Seminar Nasional Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Dody menuturkan hilirisasi menjadi penting mengingat dampaknya yang lebih segera dengan potensi yang besar untuk mendorong peningkatan ekspor karena nilai tambah yang lebih tinggi.
Hilirisasi pengolahan komoditas SDA ke berbagai industri turunannya dapat meningkatkan kapasitas penawaran ekonomi melalui kenaikan modal serta mendorong dari sisi permintaan dengan kenaikan nilai tambah ekspor.
Hilirisasi diarahkan untuk mendorong ekspor dan memenuhi permintaan domestik di tengah tren transisi hijau. Di satu sisi, ekspor utama Indonesia masih didominasi oleh produk primer. Di sisi lain, sebagian impor Indonesia berupa barang olahan atau jadi.
Oleh karenanya, lanjut Dody, hilirisasi menjadi kebijakan prioritas untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor di tengah tren transisi hijau.
Ia mengatakan hilirisasi dihadapkan pada sejumlah peluang dan tantangan. Terdapat peluang dari rencana penambahan jumlah smelter dan tren transisi hijau, serta tantangan berupa ketahanan cadangan dan sumber daya, kebutuhan investasi, dan kebijakan mitra dagang.
Menurut Dody, hilirisasi perlu difokuskan pada sejumlah komoditas logam utama seperti nikel, tembaga, timah dan bauksit, serta didukung oleh kebijakan utama, insentif fiskal nonfiskal, regulasi terkait investasi, dan berbagai bentuk dukungan lainnya. Perluasan hilirisasi juga perlu dilakukan ke komoditas mineral nonlogam.
"Kita tentunya akan mengajak bersama dengan pemerintah, Kementerian Keuangan, apakah kebijakan fiskal dan nonfiskalnya, apa kemudian kebijakan investasi yang bisa didukung dari sektor riil dari sisi Kementerian Keuangan," tuturnya.
Bank Indonesia memberikan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan/atau memenuhi target Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rupiah rata-rata maksimal sebesar 2 persen.
Insentif tersebut berupa insentif atas pemberian kredit atau pembiayaan kepada 46 sektor prioritas paling besar sebesar 1,5 persen, dan insentif pencapaian RPIM paling besar sebesar 0,5 persen. Pemberian insentif tersebut dilakukan guna meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan inklusif pada sektor prioritas dan pemulihan ekonomi nasional.
"Sektor prioritas termasuk hilirisasi di situ tentunya akan mendapatkan banyak dimensi insentif yang kita lakukan dari kebijakan moneter maupun makroprudensial, intinya intermediasi," ujarnya.
Industri logam dasar merupakan satu dari 46 sektor prioritas yang masuk kategori berdaya tahan dengan mempertimbangkan penyerapan tenaga kerja, nilai tambah serta multiplier effect bagi perekonomian.
Sebelum ekspor nikel melalui hilirisasi berjalan, pada 2017-2018 nilai ekspor bijih nikel hanya mencapai 3 miliar dolar AS atau Rp 46,5 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS). Ketika hilirisasi berjalan, nilai ekspor nikel pada 2021 mencapai 20,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 323 triliun.
Pendapatan Indonesia diperkirakan meningkat dari nilai ekspor nikel yang sudah dihilirisasi sebesar 27 miliar-30 miliar dolar AS atau Rp 418 triliun-Rp 465 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS).
Saat ini, Pemerintahan Joko Widodo juga sedang menyusun Grand Strategi Komoditas Minerba (GSKM), yang mana nikel menjadi salah satu komoditas tambang yang akan disusun pada peta jalan untuk GSKM tersebut.