Ahad 22 Jan 2023 18:03 WIB

Pengamat: Skema Power Wheeling di RUU EBT Buat Tarif Listrik tak Terkontrol

Swasta bisa memanfaatkan potensi sumber energi wilayah pedalaman.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Lida Puspaningtyas
Pekerja mulai membongkar bangunan di Jalan Perwakilan, Malioboro, Yogyakarta, Jumat (20/1/2023). Pembongkaran bangunan akhirnya dilakukan usai tertunda beberapa hari. Beberapa pekerja mulai memasang seng penutup di Jalan Perwakilan. Alat berat akan digunakan menunggu pemutusan jaringan listrik PLN.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja mulai membongkar bangunan di Jalan Perwakilan, Malioboro, Yogyakarta, Jumat (20/1/2023). Pembongkaran bangunan akhirnya dilakukan usai tertunda beberapa hari. Beberapa pekerja mulai memasang seng penutup di Jalan Perwakilan. Alat berat akan digunakan menunggu pemutusan jaringan listrik PLN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) pada pekan depan. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengimbau kepada pemerintah dan DPR untuk berhati-hati dalam membahas RUU ini, terutama soal skema power wheeling. Sebab, jika klausul ini lolos maka disebut akan merugikan masyarakat.

Faisal menilai dengan adanya keleluasaan pihak swasta memanfaatkan infrastruktur listrik milik negara dan kemudian menjual listrik langsung kepada masyarakat maka berpotensi membuat tarif listrik yang dibayar masyarakat akan mahal. Apalagi, belum ada skema kontrol terkait pengenaan tarif ini.

Baca Juga

"Jika selama ini masyarakat mendapatkan tarif listrik yang transparan karena dikelola langsung oleh BUMN. Jika swasta menjual langsung kepada masyarakat maka siapa yang menjadi mengontrol soal tarif. Ini berpotensi akan lebih mahal dan memberatkan masyarakat," ujar Faisal kepada Republika.co.id, Ahad (22/1).

Faisal juga menjelaskan dengan memanfaatkan aset negara tanpa harus memberikan kontribusi lebih kepada negara maka akan malah menjadi kerugian negara. "Karena jadinya swasta hanya mendompleng infrastruktur yang ada tanpa memberikan nilai tambah," tambah Faisal.

Mestinya, kata Faisal ajakan pemerintah dalam melibatkan swasta dalam sektor kelistrikan melalui pembangunan infrastruktur kelistrikan di pelosok. Dengan skema investasi yang jelas swasta bisa turut membantu negara dengan membangun akses listrik di wilayah pedalaman yang selama ini justru belum terjangkau baik oleh PLN maupun negara.

"Indonesia Timur itu kan masih banyak daerah-daerah yang masih terbatas suplai listrik. Walaupun kita lihat elektrifikasi kita udah 90 sekian persen, tapi pada kenyataannya kan di Timur terutama yang di daerah pelosok itu masih ada yang belum menikmati listrik. Nah sebaiknya swasta ini didorong membangun kepada daerah-daerah yang mungkin susah dibangun oleh PLN," ujar Faisal.

Dengan membangun di daerah pelosok, swasta bisa memanfaatkan potensi sumber energi wilayah pedalaman dan juga meningkatkan elektrifikasi di daerah. Melalui sumber daya energi yang ada justru investasi yang dibangun akan lebih murah sekaligus menghasilkan listrik yang bisa diakses oleh masyarakat 3T.

"Pemerintah bisa mendorong investasinya untuk masuk ke situ sehingga akan menggerakkan ekonomi lokal, karena pasti ada multiplier effect-nya kalau ada investasi masuk ke daerah situ," ujar Faisal.

Untuk itu, ia mengapresiasi langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghapus pasal skema power wheeling dalam RUU EBT. Ia berharap seluruh pihak mengawal proses pembahasan RUU EBT agar tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa power wheeling.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement