Jumat 13 Jan 2023 09:18 WIB

Skema Power Wheeling tak Sentuh Masyarakat Wilayah Terpencil

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas PLN membongkar meteran listrik sebelum dirobohkan di Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta, Senin (9/1/2023). Seluruh pedagang Pasar Godean diharuskan berpindah ke lokasi transit pada pekan ini. Pasalnya, pada Selasa (10/1/2023) Pasar Godean akan dirobohkan dan akan dibangun kembali. Untuk transit pedagang bisa memilih di tiga lokasi yang disediakan yakni di Sidokarto, Pasar Hobbies, dan Kuliner Belut. Revitalisasi Pasar Godean ini akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 106 miliar dengan target selesai pada kuartal pertama 2024.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petugas PLN membongkar meteran listrik sebelum dirobohkan di Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta, Senin (9/1/2023). Seluruh pedagang Pasar Godean diharuskan berpindah ke lokasi transit pada pekan ini. Pasalnya, pada Selasa (10/1/2023) Pasar Godean akan dirobohkan dan akan dibangun kembali. Untuk transit pedagang bisa memilih di tiga lokasi yang disediakan yakni di Sidokarto, Pasar Hobbies, dan Kuliner Belut. Revitalisasi Pasar Godean ini akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 106 miliar dengan target selesai pada kuartal pertama 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI-P Yulian Gunhar mengatakan saat ini pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) pada masa sidang ini. Gunhar mengatakan salah satu poin penting yang akan didorong oleh DPR adalah penghapusan klausul skema power wheeling dalam RUU EBT tersebut.

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Melalui skema itu, produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) bisa menjual listrik langsung kepada masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.

Baca Juga

Adanya skema tersebut dinilai akan merugikan negara yang berimbas pada akses listrik tidak merata. Padahal, menurutnya saat ini tugas pemerintah adalah meningkatkan rasio elektrifikasi dan memenuhi akses listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia.

"Saat ini yang sangat prioritas dibutuhkan rakyat adalah mengaliri listrik ke daerah terpencil, serta kondisi over supply listrik yang biayanya ditanggung negara, bukan skema power wheeling," katanya.

Gunhar menjelaskan skema power wheeling berpotensi merugikan negara karena infrastruktur kelistrikan yang ada saat ini bisa dengan leluasa digunakan oleh pihak swasta. Sedangkan, disatu sisi PLN menghadapi tantangan oversupply yang akan semakin melebar dengan masuknya swasta bisa langsung menjual ke masyarakat.

"PLN harus menanggung beban Take or Pay (ToP) jika listrik yang disediakan swasta tidak terserap atau over supply. Di mana setiap tambahan pembangkit sebesar 1 GW akan mengakibatkan tambahan beban ToP rata-rata sebesar Rp 2,99 triliun," kata Gunhar.

Gunhar melanjutkan, jika klausul tersebut diloloskan maka sejatinya melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait unbundling yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945.

"Power wheeling pada dasarnya bentuk liberalisasi PLN, bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk masyarakat. Sehingga aset pemerintah berupa transmisi dan jaringan distribusi sejatinya tidak bisa dikomersialisasikan," tutup Gunhar.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement