REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengaku khawatir kebutuhan akan suplai tenaga kerja semakin menyusut akibat perubahan aturan mengenai upah minimum di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1/2023),Hariyadi menyebut formula penghitungan upah minimum (UM) di dalam Perppu yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu memberatkan dunia usaha mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup satu variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi saja.
Formula tersebut pun hampir sama dengan penetapan UMP berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 di mana nilai upah minimum merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan variabel indeks tertentu.
"Kalau UM mengikuti Permenaker 18/2022, ini memang sebetulnya lebih akan menyusutkan tenaga kerja. Jadi antara penciptaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja baru yang masuk dan yang sudah ada itu tidak proporsional lagi," katanya.
Menurut Hariyadi, idealnya satu lapangan kerja tersedia untuk satu pekerja. Namun, saat ini sektor formal hanya menyerap 35 juta orang dari 144 juta angkatan kerja yang ada.
"Kalau ini diteruskan, dampaknya akan makin menyusut (tenaga kerja), tren itu akan berlanjut terus," katanya.
Hariyadi pun mengutip data Kementerian Investasi/BKPM selama delapan tahun ke belakang dari periode 2013-2021 di mana penyerapan tenaga kerja turun hingga 70 persen kendati realisasi investasi naik.
Dalam data tersebut tercatat bahwa pada 2013 ada penciptaan tenaga kerja hingga 1,8 juta orang dengan total investasi sebesar Rp398,3 triliun. Namun, penyerapan tenaga kerja anjlok ke angka 1,2 juta orang pada 2021 dengan total realisasi investasi sebesar Rp901 triliun.
Dari data tersebut, terungkap bahwa penyerapan tenaga kerja per Rp1 triliun investasi menyusut hingga 70 persen dari 4.500 orang pada 2013 menjadi hanya 1.300 orang pada 2021. "Kami sebagai pemberi kerja dan sebagai investor, itu juga tidak bagus untuk kami karena kalau itu terjadi, bonus demografi tidak akan terjadi. Yang ada malah beban, dan sudah terjadi," katanya.
Beban yang dimaksud yaitu semakin banyak rakyat yang harus disubsidi pemerintah. Ia menyebut data pemerintah mencatat pada 2019 terdapat 36,3 persen dari populasi yang menerima bantuan sosial (bansos). Angka tersebut naik menjadi 58,8 persen pada 2022.
Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Anton J Supit mengatakan pihaknya mendukung penuh pemerintah untuk mendorong penciptaan tenaga kerja berkualitas di Indonesia. Ia menjelaskan Apindo sama sekali tidak menentang kenaikan upah minimum.
Perubahan aturan mengenai upah minimum, menurut Anton, akan sangat signifikan dampaknya bagi para calon investor yang akan masuk berinvestasi, khususnya investor di sektor padat karya. "Paling penting bagi calon investor yang akan masuk, dia akan memprediksi bagaimana pengupahan lima tahun ke depan. Katakanlah kalau setiap tahun naik 10 persen, berarti dalam lima tahun akan naik 50 persen. Dibandingkan Vietnam, Thailand, malah Thailand tiga tahun sekali naik," katanya.
Anton mengingatkan bukan berarti jika upah minimum tidak naik maka upah tidak naik karena kenaikan upah kesejahteraan merupakan negosiasi bipartit. Upah minimum merupakan jaring pengaman sosial yang berlaku hanya untuk pekerja yang belum pernah bekerja dan baru mulai kerja.
"Jangan disalahpahami. Kami berjuang bukan untuk kami saja, atau pengusaha tapi juga untuk pemerintah supaya mencapai syarat pembangunan manusia. Tugas kami menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin dan kalau tidak bisa, jangan sampai itu hilang," katanya.