REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Skema power wheeling yang dimuat dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) dikhawatirkan akan membebani negara seiring potensi over supply pasokan listrik seiring realisasi proyek pembangkit 35.000 Megawatt.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan potensi over supply listrik sekitar 7,4 gigawatt hingga akhir 2022. Di sisi lain, biaya yang ditanggung atas kelebihan pasokan listrik mencapai Rp 3 triliun per gigawatt, sehingga total beban negara mencapai Rp 22 triliun.
“Nah sekarang kalau mau dimasukin power wheeling pakai EBT di satu sisi memang mendorong EBT, tapi juga menambah beban pemilik jaringan,” ujar Agus, Selasa (25/10/2022).
Adapun, skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Skema ini diklaim memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Menurutnya, pemerintah yang telah mencanangkan program 35.000 MW perlu mencari jalan keluar yang terbaik, setelah tidak terserapnya pasokan listrik. Apalagi, rencana pembangunan pembangki 35.000 MW menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen per tahun.
Sayangnya, akibat pandemi Covid-19 dan serangkaian dinamika global, realisasi pertumbuhan ekonomi masih berkutat pada 5 persen. “Pemerintah juga telah menyepakati RUPTL 2021-2030, itu saja yang seharusnya disepakati untuk mendorong penggunaan EBT. Kalau menggunaan skema power wheeling jelas menambah beban negara. Ditambah lagi, di situ juga ada isu liberalisasi,” tegasnya.
Agus juga menekankan, skema power wheeling yang diterapkan di negara lain tidak bisa semata-mata langsung bisa diimplementasikan di Tanah Air. “Sekarang kalau tiba-tiba ada skema ini (power wheeling) yang nanggung itu siapa? Kan negara juga,” pungkasnya.