REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebutkan target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang mencapai 5,3 persen di 2023 sebagai tantangan besar. Hal tersebut karena pada saat yang sama, pemerintah menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) sebesar 2,85 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Dengan defisit diturunkan ke bawah 3 persen dari PDB, ada potensi pemangkasan anggaran tahun depan. Bagaimana bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, jadi ada tantangan besar untuk target yang tinggi," katanya kepada Antara di Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Faisal memperkirakan pertumbuhan ekonomi di 2023 akan berkisar 5 persen secara tahunan sebagaimana sebelum penyebaran pandemi Covid-10. "Kemarin di kuartal II 2022 sempat sentuh 5,4 persen year on year, besar sekali. Termasuk di kuartal I 2022 dan akhir 2021, tapi itu besar faktor eksternalnya yaitu harga komoditas," katanya.
Harga komoditas yang mendorong ekspor Indonesia diperkirakan akan turun pada 2023 mendatang sehingga sumbangan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi juga akan menurun. Penurunan harga komoditas juga diprediksi akan mempersulit pemerintah mencapai target defisit APBN di bawah 3 persen dari PDB.
"Kalau kebijakan tahun depan sangat ketat akan dapat memukul atau menghambat pemulihan sektor-sektor yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19," terang Faisal.
Ke depan, inflasi juga perlu dijaga karena akan dipengaruhi kondisi perekonomian global yang masih penuh dengan ketidakpastian. "Ketidakpastian masih besar tahun depan, apalagi dengan dinamika politik Ukraina dengan Rusia dan China dengan Taiwan, ini yang agak susah diprediksi tahun depan," katanya.
Sebelumya dalam pidato kenegaraannya, Presiden Jokowi menyebutkan inflasi akan dijaga di kisaran 3,3 persen pada 2023 mendatang.
--