REPUBLIKA.CO.ID, DURHAM —Regulasi dan pengawasan institusi keuangan Islam (Islamic Financial Institutions atau IFIs) perlu terus disempurnakan. Penelitian yang dilakukan oleh Islamic Development Bank (IsDB) Institute menunjukkan sikap dari para pemangku kepentingan (stakeholders) di IFIs yang sebagian besar memercayai kerangka regulasi dan pengawasan untuk mitigasi risiko bagi IFIs sudah cukup. Meski demikian ruang perbaikan terus perlu ditingkatkan, khususnya dalam beberapa isu penting.
“Perlunya membuat pedoman risk management yang bisa menangkap aspek syariah dalam berbagai risiko yang bisa muncul dalam kegiatan IFIs”, papar Hylmun Izhar, Senior Economist IsDB Institute, dalam acara Durham Islamic Finance Summer School (FIFSS), yang berlangsung dari tanggal 25-29 Juli 2022, di Durham University, Inggris.
Hylmun juga menambahkan, perlunya memberikan artikulasi dimana risk management tersebut bisa diterjemahkan dalam bentuk produk di tingkat aplikasinya.
Berdasarkan data dari Islamic Finance Development Report 2020, total aset IFIs pada tahun 2019 mencapai 2,875 trilun dolar AS dan diperkirakan meningkat menjadi 3,6 triliun dolar AS, pada tahun 2024. Dari jumlah ini, perbankan syariah menyumbang hampir 70 persen dari total aset, sisanya dari sukuk (19%), non bank (5%), mutual funds (5%), dan takaful (2%).
Hylmun memaparkan dua syarat untuk tercapainya stabilitas keuangan di perbankan dan keuangan Islam. Pertama, memiliki regulasi dan pengawasan yang efektif. “Termasuk juga di sini, perlunya institusi perbankan dan keuangan Islam sesuai dan konsisten dengan prinsip Syariah. Karenanya, Dewan Pengawas Syariah menjadi penting sebagai penentu jaminan bahwa kebijakan dan aktivitas yang dilakukan sudah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (31/7/2022).
Kedua, perlunya menekankan pada aspek risk management yang prudent. Lantaran ini, lanjut Hylmun, perlu peningakatan tata kelola (governance) dari intitusi perbankan dan keuangan Islam. “Risk management yang prudent akan meningkatkan imunitas dan mengurangi risiko dari peluang terjadinya ketidakpastian,” papar Hylmun, orang ketiga dari Indonesia yang menerima penghargaan internasional setelah Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin dalam kancah Global Islamic Finance Award, di Astana, Kazahstan, 2017 ini.
Delegasi UIII
Acara DIFSS yang berlangsung sepekan di School of Business Durham University, tahun ini diikuti 55 peserta dari berbagai dunia dalam kapasitas sebagai praktisi, akademik, regulator (bank sentral) dan pengambil kebijakan. DIFSS sudah dilakukan sejak tahun 2006.
Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) mengirimkan delegasi yang terdiri dari tiga mahasiswa dan satu dosen. Ketua Delegasi UIII, M Luthfi Hamidi memaparkan saat ini UIII memiliki perhatian untuk bersama masyarakat internasional melakukan kegiatan penelitian bidang keuangan Islam yang diselaraskan dengan aspirasi Sustainable Development Goals (SDGs). “Bersama dengan IsDB dan UNDP, kita telah membuat pusat kajian bersama. Harapannya, keuangan dan perbankan syariah semakin banyak berkontribusi dalam kegiatan yang mendukung sustainabilitas jangka panjang,” kata Luthfi.
Implementasinya, ujar Luthfi, perbankan syariah harus lebih berakar dan menunjukkan kiprah lebih baik dalam pemberdayaan masyarakat dan juga dalam pelestarian lingkungan.
Dalam kesempatan yang sama, Muhammad Ismail Sunni, mahasiswa FEB UIII yang juga salah satu delegasi dari UIII menyampaikan keyakinannya bahwa keuangan Islam itu bukan hanya teori saja. “Sebelumnya saya melihat keuangan dan perbankan Islam itu produknya kurang kompetitif dan kerangka aturan standardnya belum sejelas konvensional. Namun secara umum dari pemaparan presentasi berbagai pembicara kaliber internasional di sini, benang merahnya ada pada bagaimana keuangan dan perbankan syariah bisa memberdayakan masyarakat dan membuat kehidupan sosial mereka jadi lebih baik dan tidak selalu mengarah dan prioritas hanya mengejar keuntungan semata,” kata Muhammad Ismail Sunni.