Selasa 10 May 2022 20:19 WIB

Kadin Khawatirkan Peningkatan Inflasi

Angka inflasi pada April 2022 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2017.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Inflasi (ilustrasi)
Inflasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inflasi pada April meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan laju inflasi nasional pada April 2022 mencapai 0,95 persen. Angka inflasi tersebut, merupakan yang tertinggi sejak Januari 2017 silam yang mencapai 0,97 persen.

Kalangan pengusaha pun mengkhawatirkan kondisi tersebut. "Ini sebetulnya sudah tanda yang mengkhawatirkan. Kami harap dalam jangka pendek bisa terjadi stabilisasi nilai tukar dan inflasi dengan bantuan intervensi kebijakan-kebijakan makro dari pemerintah," ujar Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika.co.id, Selasa (10/5/2022).

Ia menambahkan, yang memberatkan inflasi karena akn berdampak negatif terhadap peningkatan beban biaya usaha dan potensi peningkatan kinerja usaha dalam jangka pendek. Khususnya karena momentum high consumption & high income seperti lebaran sudah lewat, sehingga kemungkinan besar konsumsi jangka pendek akan kontraksi jauh lebih besar dari yg diperkirakan sebelumnya di periode Mei hingga akhir kuartal III 2022. 

"Ini tentu akan menganggu proses pemulihan usaha dan ekonomi nasional. Khususnya krn beban terbesar akan diterima oleh UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang selama pandemi ini sangat sulit dan lambat menciptakan pemulihan kinerja," tuturnya.

Kadin khawatir bila kondisi itu berlanjut terus, Indonesia bisa mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi atau malah resesi. Hal itu karena, daya beli masyarakat dan pelaku usaha sektor riil-nya tidak kuat menanggung peningkatan beban-beban yang disebabkan inflasi. 

"Semoga dalam waktu dekat bisa dikendalikan agar lebih landai inflasinya dan pelemahan nilai tukarnya. Itu karena, selain inflasi dan pelemahan nilai tukar, pelaku usaha dan masyarakat juga punya beban lain yg memberatkan pemulihan ekonomi seperti potensi kenaikan suku bunga, penipisan stimulus ekonomi, kenaikan beban pajak, dan lainnya yang secara agregat tidak kondusif terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi," jelas Shinta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement