REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) dinilai tidak perlu terburu-buru untuk menaikan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR). Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual menyampaikan, tingkat inflasi yang terus meningkat memang perlu diwaspadai namun BI tidak perlu terburu-buru merespons dengan kenaikan suku bunga acuan.
"Mungkin dalam 1-2 bulan kedepan tingkat inflasi bisa melampaui sasaran target empat persen, namun tidak berarti harus terburu-buru, mungkin bisa dipertimbangkan di semester II 2022," katanya pada Republika.co.id, Selasa (10/5/2022).
Menurut David, tingkat inflasi akan terus meningkat seiring dengan banyaknya potensi inflasi yang menunggu dalam beberapa waktu depan. Seperti misalnya potensi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) akibat kenaikan harga dari produsen yang akan mulai tertransmisi ke harga jual ke konsumen.
Sebelum Ramadhan, produsen sejumlah sektor usaha masih belum mentransmisikan kenaikan harga produksi pada konsumen. Hal ini terlihat dari Producer Price Index (PPI) dan Wholesale Price Index (WPI) yang sudah tinggi.
Hal tersebut akan menekan IHK yang sudah mencapai 3,47 persen (yoy) pada April 2022 dan mendorong inflasi lebih lanjut. Inflasi yang meningkat juga dipengaruhi oleh Ramadhan dan Idulfitri. Ditambah dengan potensi inflasi dari administered price yang diatur pemerintah.
"Potensi inflasi juga tetap dari barang-barang yang diatur pemerintah karena beban fiskal sudah tinggi, terutama dari energi," katanya.
Fiskal menanggung beban untuk terus berperan menstabilkan harga agar inflasi dapat tetap dalam kendali dan tidak sehebat di eksternal. Kenaikan IHK juga dapat menular pada inflasi inti yang menjadi titik kunci pertimbangan BI untuk menaikan suku bunga acuan.
Sehingga menurutnya, BI perlu mempersiapkan kebijakan yang berfungsi sebagai jangkar agar inflasi tidak bergerak liar baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Salah satunya dengan menjaga aset investasi Indonesia agar tetap menarik.
David mengatakan yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar investasi portofolio tetap atraktif. Capital outflow dari obligasi terus meningkat sejak tahun lalu yang sekitar Rp 70 triliun. Aliran modal keluar juga terjadi di pasar saham dalam beberapa hari terakhir.
Menurutnya, perbankan tidak bisa terus menurunkan bunga deposit atau simpanan karena akan membuat portofolio investasi di dalam negeri tidak menarik. Aset investasi Indonesia harus tetap terjaga di tengah gempuran The Fed yang terus meningkatkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan kenaikan yield obligasi US Treasury terus meningkat sehingga banyak aliran modal keluar dari emerging market, termasuk Indonesia. Jika aset investasi dalam negeri tidak menarik maka akan berpengaruh pada stabilitas nilai tukar Rupiah.
Kondisi ekonomi Indonesia sejauh ini terpengaruh lebih banyak karena sisi eksternal. Seperti harus menanggulangi imbas kebijakan The Fed yang diprediksi akan terus menaikan suku bunga hingga akhir tahun untuk kejar setoran menutupi tingkat inflasi yang sudah terlanjur tinggi.