REPUBLIKA.CO.ID, HOUSTON -- Harga minyak turun tajam pada akhir perdagangan Kamis (31/3) atau Jumat (1/4) pagi WIB setelah Presiden Joe Biden mengumumkan rilis terbesar dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) Amerika Serikat (AS). Presiden Biden juga meminta perusahaan-perusahaan minyak untuk meningkatkan pengeboran guna menambah pasokan.
Kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei kehilangan 7,54 dolar AS atau atau 7,0 persen, menjadi menetap di 100,28 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, setelah menyentuh level terendah 99,66 dolar AS. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei tergelincir 5,54 dolar AS atau 4,9 persen, menjadi ditutup pada 107,91 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Kontrak berjangka Juni yang lebih aktif diperdagangkan turun 5,6 persen pada 105,16 dolar AS per barel, setelah jatuh 7,0 dolar AS di awal sesi. Kedua kontrak acuan tersebut membukukan persentase kenaikan kuartalan tertinggi sejak kuartal kedua 2020, dengan Brent melonjak 38 persen, dan WTI melambung 34 persen, didorong terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari yang disebut Moskow sebagai Operasi Militer Khusus.
"Ini adalah pasar di mana setiap barel diperhitungkan dan (pelepasan SPR) adalah volume minyak yang signifikan ditempatkan di pasar untuk jangka waktu yang lama," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC.
Pelepasan 180 juta barel cadangan minyak AS setara dengan sekitar dua hari permintaan global, dan menandai ketiga kalinya Washington memanfaatkan SPR dalam enam bulan terakhir. "Mulai Mei, AS akan melepaskan 1 juta barel per hari minyak mentah selama enam bulan dari Cadangan Minyak Strategis," kata Biden seraya menambahkan bahwa 30 juta hingga 50 juta barel minyak dapat dilepaskan oleh sekutu dan mitra.
"Kita perlu meningkatkan pasokan ... Perusahaan minyak yang duduk di sumur menganggur atau sewa yang tidak terpakai harus mulai memproduksi atau membayar kelambanan mereka," ujar Biden.
Anggota lain dari Badan Energi Internasional (EIA) juga dapat melepaskan barel untuk mengimbangi ekspor Rusia yang hilang setelah negara itu terkena sanksi berat karena invasi ke Ukraina.Negara-negara anggota IEA akan bertemu pada Jumat (1/4/2022) pukul 12.00 GMT untuk memutuskan potensi pelepasan minyak kolektif, kata juru bicara Menteri Energi Selandia Baru.
Namun, menurut analis pasar dan investasi senior di Hargreaves Lansdown Susannah Streeter, setiap rilis SPR juga bisa menjadi tanda bahwa Washington tidak memperkirakan resolusi cepat untuk krisis di Ukraina, yang telah menekan pasokan minyak.
"Masa-masa putus asa jelas menyerukan tindakan putus asa dan jelas pemerintahan Biden percaya lonjakan harga minyak menjamin langkah ini untuk memakan pasokan darurat negara itu," kata Streeter.
Analis Goldman Sachs mengatakan langkah itu akan membantu pasar minyak untuk menyeimbangkan kembali pada tahun 2022 tetapi bukan perbaikan permanen. "Namun, ini akan tetap menjadi pelepasan persediaan minyak, bukan sumber pasokan yang terus-menerus untuk tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, pelepasan seperti itu tidak akan menyelesaikan defisit pasokan struktural, dalam beberapa tahun mendatang," kata mereka.
Para analis juga menunjuk pada likuiditas yang rendah di pasar yang menyebabkan pergerakan harga terlalu besar."Kami telah melihat berkurangnya minat terbuka dan volume yang berkurang. Pasar yang tipis adalah pasar yang gelisah, dan sangat reaktif terhadap berbagai perkembangan ini. Sejauh kami mendapatkan atau kehilangan barel, Anda mendapatkan reaksi yang sangat besar," kata Kilduff.
Sementara itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, sepakat pada pertemuan pada Kamis (31/3) untuk tetap pada perjanjian yang ada dan menaikkan target produksi Mei sebesar 432 ribu barel per hari (bph).
"Mengingat perkembangan semalam, keputusan OPEC+ tampaknya bukan peristiwa. Peningkatan 432 ribu barel per hari telah diperkirakan dan dimasukkan ke dalam harga. Keputusan itu akan disambut dengan kekecewaan dari negara-negara konsumen," kata Tamas Varga di PVM Oil Associates.
Harga juga turun karena kekhawatiran permintaan yang lebih rendah di China ketika Shanghai akan memperluas penguncian Covid-19.