REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sumber daya perikanan yang melimpah tak semestinya membuat Indonesia terlena. Penurunan sumber daya perikanan terus terjadi akibat tingginya tingkat penangkapan dan permintaan.
Tak pelak, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), harus bekerja ekstra keras dalam menjaga sumber daya perikanan hingga tahun-tahun mendatang.
Melalui prinsip blue economy atau ekonomi biru sebagai instrumen dasar dalam perencanaan tata ruang laut, termasuk penangkapan ikan terukur, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ingin menjaga posisi Indonesia sebagai pemasok utama ikan di pasar dunia.
Bagi Trenggono, kebijakan penangkapan ikan terukur dapat memastikan adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekologi dan ekonomi serta keberlanjutan sumber daya perikanan nasional.
"Penting menciptakan laut yang sehat, aman, tangguh, dan produktif bagi kesejahteraan bangsa dengan strategi pembangunan ekonomi biru yang menitikberatkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi pada aktivitas yang menetap di ruang laut," ucap Tranggono dalam webinar bertajuk "Implementasi Blue Economy dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut" pada September lalu.
Trenggono menyampaikan kebijakan penangkapan terukur yang rencananya mulai berlaku pada awal 2022 merupakan jalan terwujudnya pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia yang berkelanjutan tanpa mengenyampingkan kepentingan ekonomi nasional dan daerah. Melalui kebijakan ini, KKP akan mengatur area penangkapan sesuai zona, alat tangkap yang digunakan, hingga tempat ikan hasil tangkapan didaratkan.
Zona penangkapan yang dimaksud dibagi dalam tiga kategori, yakni zona industri, zona nelayan lokal dan zona spawning dan nursery ground. Kemudian jumlah sumber daya perikanan yang ditangkap ditentukan dengan sistem kuota untuk industri, nelayan lokal, dan penghobi.
Trenggono optimistis program penangkapan terukur dapat meningkatkan devisa negara dari pasar perikanan global mencapai 167 miliar dolar AS. Nilai produksi sektor perikanan laut Indonesia sendiri tercatat sekitar Rp 132 triliun dengan peluang produksi melebihi 10 juta ton per tahun.
Menurut Trenggono, terukurnya nilai produksi yang menunjukkan ketahanan ekonomi, serta terukurnya nilai pendapatan dan kesejahteraan nelayan yang menunjukkan ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat.
"Kebijakan penangkapan terukur ditargetkan mampu menciptakan distribusi pertumbuhan di wilayah dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kebijakan ini juga akan mendorong pengelolaan sektor kelautan dan perikanan menjadi lebih tertata untuk kesehatan laut," ungkap Trenggono.
Trenggono menyampaikan kebijakan penangkapan terukur tujuan utamanya untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi, peningkatan penerimaan negara bukan pajak, penambahan penyerapan tenaga kerja, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu, ucap Trenggono, juga untuk mempermudah fish traceability yang akan memanfaatkan teknologi sistem kontrol yang modern. "Dengan demikian, daya saing produk perikanan Indonesia di pasar global juga akan meningkat," kata Trenggono.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Sri Yanti mengatakan kondisi sumber daya perikanan saat ini tidak sama dengan kondisi sumber daya perikanan satu atau tiga dekade yang lalu.
Yanti menyebut sumber daya perikanan di Indonesia, terutama yang dekat dengan pantai atau pesisir (<12 mil) saat ini mengalami degradasi karena tekanan penangkapan yang tinggi.
"Berkurangnya sumber daya perikanan ini akan mempengaruhi masyarakat pesisir terutama para nelayan, yang mayoritas adalah nelayan kecil (5-10 GT) dengan wilayah penangkapan di sekitar pantai," ujar Yanti dalam dialog bertajuk "Penerapan Perikanan Berkelanjutan dan Terukur" di Jakarta, Selasa (14/9).
Yanti menilai kelompok masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan, ditambah dengan permasalahan lainnya seperti isu pendidikan dan kesehatan di masa pandemi saat ini.
Bappenas, ucap Yanti, mendorong penerapan perikanan berkelanjutan menjadi kebijakan perencanaan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Bappenas pun telah menjadikan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagai basis dalam pembangunan perikanan berkelanjutan yang merupakan program prioritas dalam RPJMN 2020 hingga 2024.
Bappenas, Yanti katakan, telah melakukan beberapa kajian ilmiah seperti studi bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura (WPP 718), studi perikanan alat tangkap cantrang di perairan Utara Jawa meliputi Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah sampai Jawa Timur (WPP 712).
"Harapannya berbagai kajian ini dapat menjadi model percontohan dalam menyusun kebijakan sektor kelautan dan perikanan untuk berbagai jenis komoditas lainnya melalui pengelolaan yang transparan dan berbasis sains untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan," ucap Yanti.
Dengan menggunakan pendekatan simulasi dinamika berbasis data hasil tangkapan dan parameter ekonomi lainnya, kata Yanti, analisis bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengendalian input, dalam hal ini jumlah kapal optimal, yang diizinkan.
Dari dua jenis tipe alat penangkapan udang yang dijadikan sampel mewakili mayoritas aramada yang beroperasi, yakni armada dengan target udang putih dan udang dogol (banana prawn) serta target udang windu dan udang dogol (tiger prawn) diperkirakan perikanan ini memperoleh manfaat ekonomi per kapal antara Rp 25 miliar hingga 50 miliar per tahun.
Yanti menyebut untuk mencapai pemanfaatan ekonomi yang optimal ini diperlukan alokasi jumlah kapal yang optimal dengan kisaran 50 kapal hingga 70 kapal dan secara gradual dievaluasi sesuai dengan kapasitas biologi udang di Laut Arafura.
Dengan alokasi optimal sebesar itu, lanjutnya, simulasi menunjukkan potensi PNBP yang diperoleh per kapal akan mencapai Rp 400 juta sampai 700 juta per tahun. Bappenas juga ingin mendorong peningkatan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan.