REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah diimbau aktif membangun jalur komunikasi yang lebih jelas dan transparan kepada dunia industri dan pelaku usaha terkait rencana penerapan nilai ekonomi karbon yang bertujuan agar Indonesia mampu bersaing dengan pasar global.
Munculnya penolakan dari dunia industri di Indonesia disampaikan Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa tak lepas karena kurangnya informasi diterima dari pemerintah.
“Informasi dan penjelasan dari pemerintah mengenai mekanisme pajak karbon seperti sektor apa saja yang akan dikenakan pajak dan bagaimana cara perhitungan dasar pengenaan pajaknya memberikan ketidakpastian bagi dunia industri,” jelas Fabby saat menjadi panelis podcast bertajuk Pro dan Kontra RUU KUP Pajak Karbon Untuk Indonesia” yang diselenggarakan Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (12/9).
Dalam kesempatan itu, Fabby menyinggung mekanisme penerapan nilai ekonomi karbon melaui cap and trade serta pajak karbon. Ia sependapat bahwa kombinasi kedua mekanisme tersebut merupakan cara yang ideal bagi Indonesia untuk mengakselerasi penerapan nilai ekonomi karbon.
“Dari sisi pemerintah, penerapan cap and trade dibahas melalui Draft Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sementara penerapan pajak karbon dibahas melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP),” tuturnya.
Sektor ketenagalistrikan, dicontohkan Fabby dapat menggunakan skema cap and trade sebagai mekanisme untuk mitigasi emisi karbon. Terlebih lagi skema ini sudah dijalankan secara internal oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada PLTU-PLTU yang dimiliki oleh PLN.
“Di sisi lain, pajak karbon dapat diterapkan misalnya pada sektor transportasi dimana setiap volume bahan bakar fosil yang dijual telah memperhitungkan pajak karbon atas emisi dari bahan bakar tersebut, sehingga perhitungan dan dasar pengenaan pajak karbon atas bahan bakar di sektor transportasi bisa menjadi lebih mudah dan lebih transparan,” katanya.
Pendiri PJCI Eddie Widiono, Eddie Widiono menegaskan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing Indonesia. Indonesia menurutnya tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon.
“Konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran, dimana daya saing tidak melulu ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa, tetapi sudah memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa tersebut,” ujarnya.