REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia berpotensi menjadi tujuan investasi utama bagi para investor asing. Hal ini terjadi, asalkan selama Indonesia dapat mempertahankan fokus pada reformasi yang ramah pertumbuhan dan terus melakukan transformasi dalam mengatasi hambatan-hambatan pada sektor perdagangan dan kewirausaahan.
Di seluruh dunia, pola pemulihan berbentuk kurva V telah muncul di negara-negara yang telah mengendalikan virus. Di Indonesia, konsumsi domestik yang kuat dan permintaan global yang kembali meningkat, akan memperkuat stimulus jangka pendek.
Dalam jangka panjang, Indonesia akan meraih manfaat dari rancangan ekonomi baru yang diciptakan oleh reformasi di bidang-bidang seperti peraturan investasi dan iklim usaha. “Indonesia berhasil memosisikan diri dengan baik untuk bangkit dari Covid-19 dan memulai kembali pertumbuhan ekonomi yang pesat," tutur Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia, Francois De Maricourt dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Kamis (26/8).
Namun, sambung dia, ada tiga hal penting yang harus ditangani untuk memaksimalkan momentum pemulihan ini. Yaitu investasi yang berkelanjutan, transformasi dalam penyederhanaan regulasi, dan konektivitas digital.
Menurutnya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan Indonesia di masing-masing bidang tersebut. Yakni pertama, pemangku kebijakan dan bisnis harus fokus pada memastikan bahwa kombinasi ekonomi yang berkelanjutan dan hasil investasi Indonesia menjadikan Indonesia tujuan yang menarik bagi permodalan global, yang tertarik untuk menciptakan hasil/laba secara berkelanjutan.
Diperkirakan bahwa hampir separuh dana yang dikelola dunia–sekitar US$ 43 triliun – disalurkan untuk output/hasil yang berkelanjutan. Dorongan kemungkinan akan meningkat setelah laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang diluncurkan bulan ini, yang mengungkapkan bahwa tujuan Paris Agreement tidak akan tercapai tanpa pengurangan emisi secara siginifikan dan cepat.
Kedua, penting bagi pemerintah untuk terus menciptakan ekosistem yang memungkinkan ecommerce dan konektivitas digital berkembang pesat. Indonesia, kata Francois, merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet tertinggi di dunia yaitu sekitar 196 juta, namun lebih dari seperempat populasi belum beranjak online.
Selain itu, Indonesia hanya menempati urutan ke-56 di dunia dalam hal akses ke teknologi. "Upaya untuk meningkatkan infrastuktur, baik secara fisik dan kebijakan, seperti peluncuran konektivitas 4G ke 4.000 kabupaten dan sub-divisi tahun ini, merupakan langkah menuju ke arah yang tepat," ujarnya.
Ketiga, terus berfokus pada langkah-langkah untuk mengurangi hambatan non-tarif. Seperti perjanjian perdagangan bebas yang baru ditandatangani Indonesia, akan memberikan manfaat dan menjadi panutan bagi kawasan ASEAN.
"Studi IMF 2019 memperkirakan, jika Asia dapat mengatasi hambatan perdagangan dan investasi asing, hal itu akan mendorong pertumbuhan regional sebesar 15 persen," ujarnya.
Sementara itu, berbicara dalam HSBC Summit 2021 hari ini, Joseph Incalcaterra, Chief Economist ASEAN, HSBC Global Research mengatakan, selagi kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, terus menghadapi tantangan besar akibat pandemi dan ketidakpastian ekonomi global, dengan mempercepat distribusi vaksin dan terus melakukan reformasi ekonomi, Indonesia dapat membangun landasan untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
"Kami semakin optimis dengan prospek pemulihan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini,” tegasnya.
Menurut Francois, Indonesia telah berupaya untuk mentransformasi iklim usahanya agar lebih ramah bagi investor. "Jika Indonesia terus menjalankan ini dengan disiplin, maka Indonesia akan terlihat semakin menarik bagi investor mancanegara,” katanya menambahkan.