Rabu 18 Aug 2021 18:33 WIB

Ekonom: Surplus Dagang Juli 2021 Masih Cukup Sehat

Badan Pusat Statistik mencatat, penurunan ekspor terbesar selama Juli yakni ke China.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Suasana aktivitas bongkar muatan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. ilustrasi
Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Suasana aktivitas bongkar muatan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari lembaga riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai, kinerja perdagangan Indonesia yang mencatat angka surplus pada Juli 2021 masih cukup sehat.

Yusuf mengatakan, kinerja ekspor meski mengalami penurunan masih dalam koridor positif melanjutkan tren bulan-bulan sebelumnya. Sementara impor yang turun signifikan hanya momentum sesaat akibat lonjakan kasus Covid-19 di dalam negeri.

"Masih relatif sehat karena ekspor masih di tataran yang akomodatif karena dari Januari-Juli nilai ekspor masih meningkat 33,94 persen dibanding periode sama tahun lalu," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Rabu (18/8).

Diketahui, nilai ekspor khusus pada bulan Juli mencapai 17,7 miliar dolar AS, turun 4,53 persen secara bulanan (month to month/mtm). Sementara impor senilai 15,11 miliar dolar AS, turun tajam hingga 12,22 persen mtm.

Yusuf menilai, penurunan ekspor salah satunya imbas turunnya ekspor ke China yang menjadi salah satu negara mitra utama Indonesia.

Badan Pusat Statistik sebelumnya mencatat, penurunan ekspor terbesar selama Juli yakni ke China dengan nilai penurunan mencapai 566,4 juta dolar AS. Itu salah satunya dipicu oleh Covid-19 varian delta yang merebak di China yang berdampak negatif pada ekonomi.

"Meskipun beberapa indikator dalam negeri China masih positif, ternyata realisasinya lebih rendah dari yang diproyeksikan," ujarnya.

Adapun penurunan impor yang terjadi, Yusuf menilai hanya merupakan momen sesaat akibat terbatasnya aktivitas masyarakat pada bulan lalu karena puncak gelombang kedua Covid-19 di Indonesia."Saya kira itu yang menghambat laju perekonomian sehingga aktivitas lapangan usaha, pabrik industri itu sedikit melambat sehingga impor juga ikut melemah," ujarnya.

Pada Agustus, Yusuf memproyeksikan impor secara umum masih akan negatif. Itu disebabkan oleh kebijakan PPKM yang diperpanjang oleh pemerintah sehingga membatasi mobilitas masyarakat. Sekalipun impor tumbuh, ia menilai kemungkinan hanya mampu tumbuh tipis.

"Di Agustus meski sudah melongggar tapi belum kembali seperti sebelum kebijakan PPKM darurat mula diterapkan sejak awal Juli lalu," katanya.

Sementara itu, Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, capaian surplus dagang menunjukkan, meski di tengah gelombang Covid-19 yang tinggi, sektor industri, pertambangan dan pertanian sebagai kontributor utama bisa tumbuh pesat untuk memenuhi permintaan global.

"Ini artinya juga faktor fundamental sektor eksternal semakin baik," ujarnya.

Ia menilai kebijakan PPKM darurat yang kemudian terus dilanjutkan sebagai PPKM level 4 saat ini tidak berpengaruh terhadap laju ekspor. Sebab, pemerintah menetapkan ekspor sebagai sektor esensial yang bisa 100 persen bekerja penuh. Kebijakan PPKM, kata dia, kemungkinan besar mempengaruhi perdagangan dalam negeri seperti di pusat-pusat perbelanjaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement