REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan, sejatinya kebijakan pembangunan harus dibuat secara berkesinambungan dan berjenjang. “Ada pembangunan jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang,” kata Prof Rokhmin Dahuri.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa (SKPB) Angkatan X Akbar Tandjung Institute (ATI) bertajuk “Arah Politik Sumber Daya Kelautan“ yang digelar secara daring, Rabu (30/6).
Namun, pakar kelautan dan perikanan itu menilai kebijakan pembangunan di Indonesia saat ini belum berjalan secara berkesinambungan hampir di semua sektor termasuk pembangunan sektor kelautan. “Setiap ganti pemerintahan ganti juga kebijakannya,” ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, tak sedikit sumber daya manusia yang ditempatkan pada satu bidang strategis untuk menjalankan suatu kebijakan justru tidak sesuai dengan kapasitas atau keahliannya. "Saya teringat hadis Nabi Muhammad SAW, jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Jadi, ya harus sama yang ahlinya, juga saleh,” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.
Rokhmin menyebut kebijakan pembangunan nasional ibarat tarian poco-poco. “Seperti tarian poco-poco, maju-mundur, maju-mundur, karena kebijakan pembangunan yang tidak berkesinambungan,” kata ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Dalam kesempatan tersebut, Rokhmin memaparkan panjang lebar potensi Indonesia yang sangat luar biasa dalam bidang kelautan dan perikanan sehingga sangat layak menjadi poros maritim dunia.
Pertama, Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 99 ribu km garis pantai (terpanjang kedua di dunia) dan 75 persen wilayahnya berupa laut , yang mengandung potensi ekonomi -- sumber daya alam (SDA) dan jasa lingkungan (Jasling) -- sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Kedua, kebutuhan manusia terhadap SDA dan Jasling terus meningkat. “Sementara , SDA dan Jasling yang ada di daratan semakin menipis atau susah untuk dikembangkan,” tuturnya.
Ketiga, sektor-sektor ekonomi kelautan (seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM dan pariwisata bahari) sangat menguntungkan, menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan multiplier effect yang luas, lokasi umumnya di wilayah pedesaan dan luar Jawa (mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah), kebanyakan rakyat bisa mengerjakanna, dan sustainable (berkelanjutan).
Ia menyebutkan, total potensi ekonomi 11 sektor kelautan Indonesia mencapai 1,348 triliun dolar AS/tahun, atau tujuh kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = 196 miliar dolar AS) atau 1,2 Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional 2020.
Kemudian, sektor kelautan menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia.
Sementara itu, pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. “Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia dan Islandia), kontribusinya lebih dari 30 persen,” ungkapnya.
Keempat, posisi geoekonomi Indonesia sangat strategis, di jantung Global Supply Chain System, di mana sekitar 45 persen barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai rata-rata 15 triliun dolar AS/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (ALKI).
Kelima, posisi geopolitik Indonesia sangat vital, choke points antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia; dan diapit oleh Benua Asia dan Australia. “Agar cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia tercapai, perlu reorientasi paradigma pembangunan bangsa, dari berbasis daratan atau land-based development menjadi berbasis kelautan (marine based development),” papar Peof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.