REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan impor jagung untuk pakan ternak. Hal itu seiring naiknya harga jagung lokal sebagai bahan baku pakan.
"Ketika harga sudah diluar batas kewajaran perlu dipilih opsi impor jagung tapi tentu ini harus hati-hati dan tetap dikendalikan pemerintah. Idealnya, pemerintah punya cadangan stok nasional yang bisa menjaga stabilitas suplai dalam negeri," kata Ketua GPMT, Timbul Sihombing, dalam sebuah webinar, Rabu (30/1).
Ia menjelaskan, harga pakan secara keseluruhan pada 2019-2020 tidak terdapat fluktuasi meski pada akhir 2020 mulai terdapat indikasi kenaikan harga. Terutama untuk pakan ternak ayam broiler. Terlebih lagi, 90 persen dari total produksi pakan ternak diperuntukan untuk unggas.
Timbul menyampaikan, pada Januari 2021, harga pakan ayam broiler starter dihargai Rp 7.115 per kilogram (kg). Harga terus mengalami kenaikan hingga rata-rata Mei menyentuh Rp 7.613 per kg. Adapun harga untuk finisher dari Rp 6.973 per kg pada Januari 2021 melonjak menjadi Rp 7.489 per kg.
Ia menyampaikan, rata-rata harga jagung nasional pada Mei 2021 sebesar Rp 5.427-Rp 6.233 per kg dengan kadar air 15 persen. Harga itu naik hampir dua kali lipat jika dibanding Mei 2020 yang sebesar Rp 3.302-Rp 4.320 per kg.
Adapun, komponen jagung pada kebutuhan pakan ternak ayam broiler mencapai 45 persen sehingga kenaikan pada jagung akan sangat berdampak pada harga pakan. Sementara itu, persediaan jagung selama Mei 2021 hanya 34 hari, jauh lebih rendah ketimbang Mei tahun lalu yang di angka 59 hari.
Sementara, komponen penting lainnya yakni soy bean meal (SMB) dan meat bone meal (MBM) masing-masing berkontribusi 25 persen dan 4 persen. Keduanya diperoleh dari impor. "SBM berkontribusi sekitar Rp 400-500 per kg terhadap kenaikan harga sedangkan MBM sekitar Rp 150-250 per kg," kata dia.
"Kontribusi bahan baku sangat signifikan terhadap harga pokok pakan ternak. Jadi inilah gambaran industri kita yang fluktuatif," ujarnya.