REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) berharap pemerintah menyiapkan regulasi khusus untuk mengatur penggunaan minyak jelantah di tengah masyarakat. Sebab, penggunaan minyak jelantah dapat berbahaya bagi kesehatan sehingga perlu diatur dalam peredarannya.
Ketua Umum GIMNI, Bernard Riedo, mengatakan, konsumsi minyak jelantah di Indonesia saat ini masih cukup besar. Minyak jelantah juga mulai banyak digunakan masyarakat baik individu maupun entitas usaha.
"Penggunaan minyak jelantah harus diawasi dan diatur. Untuk itu kami berharapa agar ada terobosan dalam kebijakan dan pengaturannya," kata Bernard dalam sebuah webinar, Rabu (23/6).
Ia mengatakan, minyak jelantah pada dasarnya masih dapat digunakan. Namun bukan dikonsumsi untuk kebutuhan pangan. Salah satu contoh penggunaan minyak jelantah yakni dalam pembuatan bahan bakar biodiesel.
GIMNI berharap, ada regulasi khusus agar minyak jelantah tidak dalam kembali dikonsumsi masyarakat terutama dalam hal untuk makanan. "Kesehatan masyarakat harus diutamakan apalagi disaat pandemi seperti ini," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, menambahkan, minyak jelantah biasanya diperoleh dari pengumpul lalu masuk ke dalam proses pembersihan dengan cara filtrasi. Proses itu untuk kebutuhan pembersihan dari partikel solid, air, dan pengeruhan.
Umumnya, minyak jelantah digunakan untuk kebutuhan nonmakanan. Di kawasan Eropa, kata Sahat, kebutuhan minyak jelantah juga sedang naik karena adanya insentif pemerintah untuk produksi biodiesel dari minyak jelantah.
"Tapi di Indonesia, banyak dijumpai eks minyak jelantah yang dijual kembali ke pedagang minyak curah atau para penggoreng pinggiran jalan dan itu tidak terlacak," ujar Sahat.
Sahat menjelaskan, di negara-negara maju, minyak jelantah dikategorikan sebagai limbah sisa proses penggorengan. Namun, di Indonesia, alur penggunaan minyak jelantah belum jelas apakah dikategorikan limbah atau nonlimbah karena belum adanya regulasi resmi dari pemerintah.