Selasa 22 Jun 2021 09:52 WIB

IHSG Menguat Terkerek Kenaikan Wall Street

Investor kembali memburu saham-saham sektor energi dan sektor bersifat siklikal.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Karyawan melintasi layar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi). Pada pembukaan perdagangan Selasa (22/6) pagi, IHSG menguat terkerek kenaikan Wall Street.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Karyawan melintasi layar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta (ilustrasi). Pada pembukaan perdagangan Selasa (22/6) pagi, IHSG menguat terkerek kenaikan Wall Street.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak di zona hijau pada perdagangan pagi ini, Selasa (22/6). IHSG dibuka menguat dan terus naik sebesar 0,65 persen ke level 6.035,03. Sementara indeks LQ45 naik sebesar 0,41 persen.

Pergerakan IHSG ini sejalan dengan indeks saham utama Wall Street yang menguat pada perdagangan semalam. "DJIA lompat lebih dari 550 poin sehingga mencatatkan kenaikan harian terbesar dalam lebih dari tiga bulan terakhir," tulis Phillip Sekuritas Indonesia dalam risetnya, Selasa (22/6).

Baca Juga

Penguatan DJIA itu juga diikuti oleh indeks S&P 500 yang naik hingga 1,40 persen dan Nasdaq naik 0,79 persen. Sementara dari Eropa, FTSE 100 London turut menguat 0,64 persen dan Xetra Dax Frankfurt menguat 1,00 persen.

Menurut riset, investor kembali memburu saham-saham di sektor energi dan sektor-sektor lain yang bersifat siklikal. Hal tersebut seiring dengan pulihnya ekonomi Amerika Serikat (AS) dari dampak pandemi Covid-19. 

Pejabat bank sentral AS mulai membanjiri pasar dengan berbagai komentar, termasuk Gubernur The Fed Jerome Powell yang di jadwalkan melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR AS. Hal ini sangat mempengaruhi pergerakan pasar beberapa hari terakhir.

Presiden The Fed dari St. Louis, James Bullard, mengatakan bank sentral tidak mungkin menaikkan suku bunga acuan pada saat yang bersamaan dengan melakukan pengurangan (tapering) program pembelian obligasi.

Di pasar komoditas, menurut riset, harga minyak mentah naik tajam di dorong oleh berhentinya pembicaraan untuk mengakhiri sanksi ekonomi AS atas Iran. Selain itu, kenaikan tajam juga dipicu oleh pelemahan nilai tukar mata uang dolar AS dari level tertingginya dalam dua bulan. 

Selisih (spread) antara harga kontrak berjangka (futures) minyak mentah jenis WTI untuk pengiriman bulan September dan pengiriman bulan Oktober menyentuh 1,12 per dolar AS barel pada Senin (21/6). Pelaku pasar pun bereaksi atas kenaikan harga tersebut.

"Sejumlah investor dan pelaku pasar berpandangan bahwa persediaan minyak mentah di AS akan mengalami pengetatan secara signifikan," tulis riset.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement