Kamis 27 May 2021 16:47 WIB

Perusahaan Emiten Banyak Belum Masuk Kualifikasi Asean

Nilai terendah pada 2020 bahkan ada yang skornya masih 38,85.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memberi sambutan secara online dalam webinar ”The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia
Foto: istimewa/tangkapan layar
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memberi sambutan secara online dalam webinar ”The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Corporate Governance Expert Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) Dr. James Simanjuntak mengungkap setelah 10 tahun implementasi Asean Corporate Governance Scorecard (ACGS) ternyata masih banyak perusahaan emiten di Indonesia yang belum layak masuk kualifikasi Asean.

ACGS adalah penghargaan yang memberikan penilaian atas praktik tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).

James memaparkan IICD membagi perusahaan emiten dalam dua cluster berdasarkan kapitalisasi, yakni big cap dan middle cap. Dalam kedua cluster yang dilakukan dan dibagi dalam lima level, diharapkan minimal skornya adalah 60.

"Di bawah 60 dianggap kurang, dan tidak layak masuk Asean,” kata James dalam webinar ”The 10th ACGS Implementation: Road to ESG in Indonesia" yang diselenggarakan IICD di Jakarta, Kamis (27/5).

Acara ini dibuka Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan dihadiri sejumlah pembicara, di antaranya Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen .

Hasilnya, lanjut James, beberapa perusahaan sudah masuk level 5. Hampir 10 perusahan berhasil mendapatkan skor di atas 100. Dan dalam kurun 10 tahun tersebut ada pertumbuhan skor dari 43,4 pada 2012 menjadi 73,65 pada 2020.

"Dari parameteri penilaian, mulai dari pemegang saham sampai dengan tanggungjawab Dewan (direksi / komisaris) terjadi peningkatan. Tapi tiga tahun terakhir penguatan tersebut mengalami stagnan. Dari 72,57 pada 2018, tahun 2020 hanya bertambah menjadi 73,65. Ini perlu kerjasama dengan OJK, supaya minimal bisa masuk level 3,” papar James.

James merasa prihatin pada level 1 karena pada 2017 ketika penilaian pada perusahaan dengan kapitalisasi pasar Rp 101-200 miliar skor yang didapat 63,12, tapi hingga 2020 hanya naik menjadi 65,4. Kenaikan yang tidak signifikan. Skor dari 200 perusahaan pun cuma naik dari 63,49 menjadi 69,52. Dari 200 perusahaan, nilai tertinggi baru 104 pada 2017, sempat naik 123 pada 2019, tapi 2020 turun jadi 119,3. Tapi yang lebih mengkhawatirkan James, nilai terendah pada 2020 bahkan ada yang skornya masih 38,85.

Hasil penilaian terhadap 200 emiten dengan market kapitalisasi terbesar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini akan diumumkan pada acara “The 12th IICD Corporate  Governance Awards” yang dilaksanakan pada 31 Mei 2021. Acara ini harusnya digelar tahun lalu tapi tertunda karena pandemi Covid-19.

Sementara Hoesen menyebut pelaksanaan GCG di Indonesia adalah kebutuhan yang tidak terelakkan. ESG menjadi tantangan bagi penciptaan prinsip keuangan berkelanjutan. "OJK terus berkomitmen dalam meningkatkan pelaksanaan prinsip keuangan berkelanjutan dengan menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan,” kata Hoesen.

Sejalan dengan hal itu, kata dia, OJK pada  2017 juga telah menerbitkan POJK No. 51 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik. OJK senantiasa mendukung emiten dan perusahaan publik pada indeks penguatan ESG.

Dalam mendukung GCG di Indonesia, IICD bersama dengan OJK, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) serta beberapa institusi pegiat GCG menerbitkan Road Map Tata Kelola Perusahaan Indonesia serta Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka yang bertujuan untuk meningkatkan praktek-praktek Tata Kelola Emiten dan Perusahaan Publik agar dapat bersaing di kawasan ASEAN.

Chairman IICD Sigit Pramono,  mengatakan CG Conference yang diselenggarakan IICD diharapkan mampu menjadi media diskusi bagi peningkatan praktik-praktik CG ke semua perusahaan publik di Indonesia. Termasuk meningkatkan kesadaran pentingnya Environmental, Social and Governance (ESG) di kalangan emiten dan investor pasar modal.

Dalam perkembangannya, IICD mendukung pengenalan konsep ESG di Indonesia dimana konsep tersebut pertama kali diusung oleh gerakan “Who Cares Wins” dari United Nations Global Compact tahun 2004.

“ESG menjadi faktor penting yang perlu diidentifikasi oleh perusahaan untuk mengelola resiko serta memungkinkan organisasi untuk menyesuaikan dengan peluang-peluang baru, terlebih lagi para investor global menggunakan kriteria ESG ini untuk menghindari investasi yang beresiko,” paparnya.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Benang merah dari sejumlah faktor ini adalah tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) yang tidak berjalan dengan baik.

Kondisi pandemi ini, kata Airlangga, menjadi pembelajaran pentingnya keberlangsungan bisnis. Perusahaan perlu memperhatikan semua stakeholder serta pihak yang terlibat dalam rantai pasok dan juga para konsumen. Hal lain yang tidak kalah penting adalah kecepatan perusahaan dalam merespons hal-hal yang sebelumnya tidak terduga terjadi.

“Kita sadar kebutuhan akan good corporate governance sebagai fondasi utama dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi tata kelola di Indonesia,” ucap Airlangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement