REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--PT Garuda Indonesia saat ini tengah memfinalkan langkah penyelesaian kontrak sewa pesawat atas 12 armada Bombardier CRJ 1000 yang dilakukan melalui proses negosiasi early termination atau pengembalian jenis pesawat tersebut dari total 18 armada Bombardier CRJ1000 yang ada.
Erick mendukung penuh keputusan perusahaan memfinalkan pengembalian atas 12 Bombardier CRJ 1000. Salah satunya ditandai dengan keputusan manajemen Garuda untuk tidak mengoperasikan seluruh armada Bombardier CRJ 1000 efektif per 1 Februari 2021. Erick menyebut langkah ini merupakan bagian dari upaya efisiensi perusahaan di tengah kondisi pandemi. Erick menyatakan Garuda merupakan salah satu perusahaan penerbangan yang memiliki biaya leasing paling tinggi mencapai 27 persen.
"Saya dengan manajemen Garuda tegas dan sangat mendukung kita memutuskan mengembalikan 12 pesawat Bombardier untuk mengakhiri kontrak kepada NAC yg memang jatuh tempo pada 2027," ujar Erick saat jumpa pers virtual bersama Dirut Garuda Irfan Setiaputra di Jakarta, Rabu (10/2).
Selain itu, lanjut Erick, Garuda juga telah mengupayakan langkah negosiasi bersama dengan EDC selaku pihak penyedia financial lease atas 6 armada Bombadier CRJ 1000 dengan mekanisme early payment settlement. Sesuai dengan kemampuan perusahaan guna memastikan langkah negosiasi berjalan berkesinambungan dengan kondisi kinerja perusahaan saat ini.
Sebagai informasi, 18 armada Bombardier CRJ 1000 yang dioperasikan Garuda Indonesia tersebut terdiri atas 12 armada yang saat ini menggunakan skema operating lease dari perusahaan lessor pesawat yang berbasis di Denmark, Nordic Aviation Capital (NAC). Sedangkan 6 armada lainnya menggunakan skema financial lease dengan penyedia financial lease Export Development Canada (EDC).
Masa sewa 12 armada Bombardier CRJ 1000 milik NAC adalah 12 tahun yang mana delivery armada dilakukan pada 2012 hingga 2015 sehingga pesawat terakhir yang diterima Garuda memiliki masa sewa hingga 2027. Sedangkan masa sewa untuk 6 armada CRJ 1000 skema financial lease dengan EDC adalah dengan kontrak 10 tahun yang periode jatuh temponya hingga 2024.
"Proses negosiasi sudah terjadi berulang kali antara Garuda dan NAC. Ini niat baik kami tapi sayangnya belum mendapat respons mereka, sementara proses negosiasi dengan EFC masih terus berlangsung," kata Erick.
Erick mengungkapkan keputusan tegas manajemen Garuda Indonesia tidak mengoperasikan armada Bombardier CRJ 1000 semakin diperkuat dengan adanya keputusan KPK mengenai indikasi tindak pidana suap yang dilakukan pihak pabrikan terkait kepada perusahaan saat proses pengadaan pesawat CRJ berlangsung pada 2011. Saat ini Serious Fraud Office (SFO) Inggris juga tengah melakukan penyelidikan terkait kemungkinan terjadinya tindak pidana suap oleh pabrikan dimaksud.