REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5 persen pada 2021. Adapun tujuan penyesuaian tarif ini untuk mengurangi tingkat konsumsi atau prevalensi rokok pada usia dini.
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Imanina Eka Dalilah menilai tujuan tersebut belum tercapai karena prevalensi perokok usia 10 sampai 18 tahun masih tetap bisa merokok.
“Persentase perokok usia dini tercatat jumlahnya terus meningkat sejak 2013. Pada saat itu, jumlah perokok usia dini sebesar 7,2 persen dan meningkat menjadi 8,8 persen pada 2016, dan kembali meningkat ke 9,1 persen pada 2018,” ujarnya saat acara Akurat Solusi Kenaikan Cukai Tembakau Solusi atau Simalakama?, Rabu (23/12).
Berdasarkan hasil survei menunjukkan sekitar 47 persen masyarakat perokok usia dini berasal dari kategori non miskin dan sebesar 53 persen berasa dari pendapatan rendah. Menurutnya hasil survei tersebut terjadi ketika pemerintah konsisten menaikkan tarif cukai rokok yang diikuti dengan tingginya harga rokok di tanah air.
"Artinya status ekonomi bagi perokok usia dini tidak ada gap yang terlalu besar, artinya siapapun anak usia dini, usia 10-18 tahun memiliki potensi untuk merokok usia dini tidak berdasarkan status ekonominya," jelasnya.
Dia mengungkapkan pihaknya juga sudah melakukan survei yang melibatkan 900 koresponden yang merupakan perokok usia dini. Adapun survei dilakukan di beberapa wilayah seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasilnya, sekitar 57 persen responden mengaku tidak beralih produk atau merek rokok meskipun harganya naik.
Sedangkan sisanya atau 43 persen memilih untuk beralih ke produk lain atau tetap mengakses rokok dengan biaya yang lebih murah yaitu tingwe atau melinting dewe (melinting rokok sendiri).
"Ini menunjukkan kenaikan harga rokok tidak serta merta turunkan prevalensi perokok usia dini," ungkapnya. (Novita Intan)