Rabu 05 Aug 2020 04:54 WIB

Pengamat: Indonesia Butuh Instrumen untuk Tarik Investasi

Tiga hal utama pendorong investasi di Indonesia ialah regulasi, SDM dan infrastruktur

Investasi (ilustrasi).
Foto: Tim infografis Republika
Investasi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik dari Universitas Paramadina Jakarta, Muhamad Iksan, mengatakan pemerintah Indonesia membutuhkan instrumen untuk menarik investasi. Terutama, menarik investasi di kawasan Timur Indonesia.

"Selama ini investasi masih terpusat di Jawa, untuk pemerataan maka perlu instrumen tambahan untuk mendorong investasi di kawasan Timur Indonesia," kata Iksan dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Selasa (4/8).

Iksan menjelaskan realisasi penanaman modal di luar Jawa memang tercatat naik dari Rp 177,5 triliun pada semester I 2019 menjadi Rp 193,7 triliun pada semester I 2020. Dalam persentase, realisasi penanaman modal di luar Jawa terhadap realisasi penanaman modal keseluruhan juga naik dari 44,87 persen menjadi 48,11 persen pada periode yang sama tahun 2020.

Meski demikian, lanjut Iksan, realisasi gabungan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) di Pulau Jawa masih dominan. Pada semester I 2020, angkanya mencapai Rp 208,9 triliun atau 51,89 persen dari total realisasi penanaman modal pada periode tersebut.

Menurut Iksan, salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk mendorong investasi di kawasan Timur Indonesia dengan menggunakan Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja. “Selama cadangan nikel dan sumber daya mineral lainnya masih tersedia, Indonesia Timur dan Tengah akan tetap dilirik oleh para investor. Potensi lain, letak geografis kawasan Indonesia Timur menjadi jalur perdagangan internasional. Dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja ini, akan mempermudah para investor untuk menanamkan modal di sana,” ungkap Iksan.

Menurut Iksan, ada tiga hal utama yang mendorong investor berinvestasi di sebuah kawasan, yakni infrastruktur, sumber daya manusia, dan kepastian regulasi. Selama ini perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia memang mengeluhkan aspek infrastruktur dan sumber daya manusia Indonesia, namun masih bisa menoleransinya. Namun, menurut mahasiswa doktoral Cheng Kung University Taiwan ini, para investor sangat keberatan terkait regulasi usaha yang tidak pasti, berubah-ubah, tidak konsisten, bahkan tumpang tindih antara pusat dan daerah.

“Berdasarkan penelitian yang pernah saya kerjakan, perusahaan-perusahaan multinasional di sektor minerba tidak terlalu ambil pusing tentang buruknya infrastruktur dan rendahnya human capital di Indonesia. Buat mereka yang terpenting aturannya konsisten antara pusat dan daerah,” papar Iksan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement