Selasa 28 Jul 2020 14:50 WIB

Harga PLTS Mahal di Indonesia

Pasar dan peminat PLTS di Indonesia belum seramai di negara lain.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang milik PT Vena Energy di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Foto: Dok Kementerian ESDM
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang milik PT Vena Energy di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian ESDM mencatat pertumbuhan PLTS di Indonesia memang masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menyebabkan harga PLTS masih tergolong mahal di Indonesia.

Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, FX Sutijastoto, menjelaskan saat ini pasar PLTS di Indonesia memang masih mahal karena ada beberapa faktor. Pertama, pasar dan peminatnya memang belum seramai di luar negeri.

Baca Juga

"Kalau dibandingkan dengan luar negeri memang pasar kita masih sepi. Ini juga yang membuat harganya jadi mahal, karena peminatnya sedikit," ujar Totok dalam konferensi pers, Selasa (28/7).

Kedua, kata Totok masalah selanjutnya adalah karena pasar yang masih sedikit membuat pabrikan panel surya belum bisa memproduksi secara banyak. Hal ini memaksa mereka mengimpor bahan baku dalam skala kecil, sehingga harga yang didapat pun mahal.

"Sudah impornya ketengan, pengolahannya kecil-kecil, akibatnya itu harganya masih cukup tinggi," ujar Sutjiastoto.

Lebih lanjut, Sujiastoto menyebutkan, saat ini harga rata-rata solar panel nasional masih mencapai 1 dolar AS per watt peak (WP). Harga tersebut jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain, seperti China yang hanya sebesar 20 sen per WP.

"Di China pabrikan-pabrikan itu kapasitasnya bisa 500 megawatt, bahkan 1.000 megawatt. Di kita masih 40 megawatt," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement