REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perum Bulog mengusulkan anggaran dalam APBN 2021 sebesar 19,051 triliun untuk kebutuhan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) pada tahun depan. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, hal itu agar ada kepastian bagi Bulog dalam melakukan penugasan pemerintah.
Modal sebanyak Rp 19,051 triliun itu diajukan Bulog kepada pemerintah untuk penganggaran dalam APBN 2021. Sebanyak Rp 15 triliun diperlukan sebagai dana talangan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 1,5 juta ton. Sedangkan sisanya, Rp 4,051 triliun untuk penggantian selisih atas harga beli dan harga jual oleh Bulog.
Harga pembelian beras (HPB) Bulog ditetapkan sebesar Rp 10.801 per kilogram, sedangkan harga jualnya harus lebih rendah, yakni Rp 8.100 per kg. Selisih dari harga tersebut, jika dikalkulasikan sebanyak 1,5 juta ton maka mencapai Rp 4,051 triliun.
Budi mengatakan, Bulog membutuhkan dana Rp 15 triliun karena sejatinya CBP adalah beras yang dimiliki pemerintah. Sejauh ini, pengadaan CBP menggunakan dana Bulog yang diperoleh dari perbankan dengan kredit komersial.
Namun, Bulog tidak memiliki kepastian pasar untuk menyalurkan CBP lantaran tidak lagi menjadi pemasok tunggal bantuan beras kepada keluarga kurang mampu. "Kita susah karena penyaluran berasnya tidak jelas. Kalau dana pengadaan CBP langsung dari APBN, itu kan jadi jelas punya negara. Kalau nanti berasnya tidak terpakai, ya salah negara," kata
Pemerintah sejauh hanya membayar selisih harga beli dan jual beras. Bulog pun harus memutar otak pola bisnisnya agar dapat menghasilkan keuntungan dan bisa membayar pinjaman serta bunga kredit perbankan yang digunakan untuk pengadaan CBP.
Budi mengatakan, selama tugas pengadaan CBP yang diberikan kepada Bulog tidak disertai dengan kepastian pasar untuk penyaluran beras tersebut, akan menjadi kendala bagi perusahaan. Alhasil, cadangan beras pemerintah tak terpakai dan membusuk di gudang.
"Kalau busuk lagi, busuk lagi, yang disalahkan Bulog. Beban kita terlalu banyak," katanya.