REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar keuangan masih berpotensi mengalami penurunan meski pemerintah telah meluncurkan sejumlah stimulus. Pasar disebut masih mengantisipasi perlambatan ekonomi global karena pandemi wabah pandemi Covid-19.
"Sekarang sih peluang pelemahan masih terbuka karena pandemi virus korona," kata Kepala Riset PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra, Kamis (19/3).
Menurut Ariston, kebijakan stimulus besar yang digelontorkan pemerintahan dan bank sentral global tidak mengubah sentimen pasar ke arah yang positif. Indeks saham global dan aset berisiko lainnya masih berguguran.
Pagi ini sejumlah bank sentral negara yang terdampak corona berkomitmen meluncurkan program stimulus tambahan. Bank sentral Eropa akan meluncurkan program pembelian aset sebesar 750 miliar euro. Sementara bank sentral Jepang berniat memperbesar stimulus yang sekarang sedang berjalan.
"Tapi tidak semua aset berisiko bergerak positif pagi ini. Hanya indeks Nikkei yang terlihat positif. Indeks saham Asia lain seperti Hong Kong, China dan Korea masih negatif pagi ini," tutur Ariston.
Dari dalam negeri, Ariston menyebut, mata uang rupiah masih bisa berlanjut melemah meskipun Bank Indonesia (BI) memberikan stimulus berupa pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,5 persen.
Senada dengan Ariston, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi, mengatakan kebijakan BI belum cukup mampu menjaga stabilitas mata uang rupiah. Potensi penguatan hanya akan berlangsung sementara.
Menurutnya, rupiah akan semakin merosot saat telah menyentuh level 16.000 per dolar AS. Ibrahim pun memprediksi mata uang rupiah bisa mencapai 16.500 per dolar AS pada April mendatang.
"Level 16.000 adalah level kunci dimana apabila terlewati maka rupiah akan terus melemah dan dalam kondisi saat ini wajar kalau rupiah bertengger di 16.500 dibulan April 2020," kata Ibrahim.