Ahad 01 Mar 2020 16:30 WIB

Bos Krakatau Steel Jelaskan Alasan Industri Baja Babak Belur

Titik puncak industri besi baja babak belur terjadi pada 2018.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Ani Nursalikah
Bos Krakatau Steel Jelaskan Alasan Industri Baja Babak Belur. Dirut PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PT KS) Silmy Karim.
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Bos Krakatau Steel Jelaskan Alasan Industri Baja Babak Belur. Dirut PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (PT KS) Silmy Karim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Krakatau Steel (KS) Silmy Karim menyambut positif arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai industri baja dan besi. Ia memastikan, industri dalam negeri akan mengawal arahan Presiden sampai terlaksana.

Silmy mengatakan, faktor utama industri baja dan besi menjadi 'babak belur' adalah pembukaan keran impor yang dimulai dengan Free Trade Agreement (FTA) dengan China pada 2010. "Kemudian, importir mencari celah menghindari bea masuk praktik circumvention (pengalihan HS Code ke HS Code yang bebas bea masuk)," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/3).

Baca Juga

Silmy menjelaskan, titik puncak babak belur terjadi pada 2018 dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2018 (Permendag 22/2018) tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.

Dalam regulasi itu, Silmy menuturkan, pengawasan impor dilakukan secara post border. Konsekuensinya, bea cukai sudah tidak dilibatkan dalam proses pemeriksaan.

Silmy menambahkan, faktor lain yang turut mempengaruhi kinerja industri besi dan baja adalah tingginya harga gas industri. Ia berharap, rencana pemerintah menurunkan harga gas dapat segera terealisasi.

"Supaya kita bisa kompetitif," katanya.

photo
Ilustrasi Pembuatan baja di Pabrik Baja PT. Krakatau Steel.

Silmy menjelaskan, KS telah melakukan restrukturisasi hutan/ keuangan KS guna memperbaiki kinerja perusahaan jangka panjang. Proses ini sudah selesai sejak 12 Januari 2020. Dari restrukturisasi keuangan ini, KS berhemat 685 juta dolar AS selama selama tahun kedepan

Saat ini, KS juga melakukan restrukturisasi operasi yang sudah berjalan sejak Januari 2020. "Kita sudah menurunkan cost opex (biaya operasional) dari 33 juta dolar AS di tahun 2018, menjadi 18 juta dolar AS di Januari 2020," ujarnya.

Silmy optimistis, biaya operasional dapat lebih efisien lagi dengan rencana penurunan harga gas ke 6 dolar AS. Ini dapat menekan komponen biaya operasional untuk industri baja dan juga hal-hal lain berkaitan dengan operasional.

Silmy turut mengapresiasi support Presiden Jokowi dalam penyehatan industri baja. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan juga berupaya menekan impor, sementara Kementerian ESDM dalam mendukung harga gas yang lebih murah, dan Kementerian Perindustrian dalam membina industri baja nasional.

"Juga BKPM yang sangat lugas dalam menyelesaikan permasalahan investasi dan kemitraan," ucap Silmy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement