REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai konsep dan peraturan pajak digital harus dilaksanakan secara jelas. Komponen atas penilaian pajak perlu dipertimbangkan, sehingga tarif pajak kompetitif.
Direktur CITA Yustinus Prastowo mengatakan RUU Omnibus Law Perpajakan diciptakan untuk mendongkrak investasi. Dikhawatirkan dengan penerapan pajak atas perusahaan luar negeri justru membuat hubungan bilateral renggang.
“Jika dilihat dari Omnibus law sebenarnya sudah diatur kalau tidak ada kehadiran fisik (pajak digital) maka diuji kehadiran ekonomi signifikan. Dampaknya nanti ada pajak digital akan bertentangan dengan Omnibus Law,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (24/2).
Yustinus menilai bila pemerintah menggunakan skema pajak transaksi elektronik baik itu digital services tax tidak efisien. Dikhawatirkan effort pemerintah jadi dua kali.
Pemerintah bakal menarik pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dan Penyelenggara PMSE (PPMSE) baik ritel online, marketplace, hingga perusahaan digital raksasa. Nantinya, Menteri Keuangan bakal menunjuk pihak yang memungut, menyetor dan melapor PPh atau PPN.
Pemerintah juga bakal memungut pajak dari PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan alias significant economic presence. Ini adalah aturan pengenaan pajak bagi perusahaan digital luar negeri. Pasal 16 ayat 1 menyebut perusahaan ini akan diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan PPh.
Namun, jika Indonesia memiliki perjanjian pajak (tax treaty) atau P3B dengan negara asal PPMSE maka BUT tidak bisa dilakukan. Pemerintah hanya bisa memajaki lewat skema pajak transaksi elektronik.
Adapun skema ini telah diadopsi oleh Prancis lewat pendekatan digital tax service dengan tarif sebesar tiga persen. Pajak ini dikenakan terhadap penghasilan atas penyediaan jasa periklanan dan jasa intermediasi online dari Prancis. Nantinya pajak itu dipungut terhadap dengan penghasilan yang besar.