Rabu 19 Feb 2020 12:28 WIB

Cukai Plastik Berpotensi Sumbang Kas Negara Rp 1,6 Triliun

Sumbangan ke kas negara ini didapatkan dengan asumsi cukai plastik Rp 200 per lembar

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, potensi penerimaan negara dari cukai kantong plastik dapat mencapai Rp 1,60 triliun. Angka ini bisa tercapai apabila cukai sebesar Rp 200 per lembar atau Rp 30 ribu per kilogram kantong plastik sudah diterapkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, besaran penerimaan negara sebesar Rp 1,60 triliun didapatkan dengan asumsi konsumsi kantong plastik 53,53 juta kilogram per tahun. Jumlah ini 50 persen lebih rendah dibandingkan tingkat konsumsi biasanya dengan baseline 107,06 juta kilogram per tahun.

Baca Juga

"Artinya, pengenaan cukai diasumsikan mampu menurunkan konsumsi 50 persen, sehingga dari semula 107 juta kilo menjadi 53 juta kilo," ucap Sri dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/2).

Sri menuturkan, penerimaan cukai kantong plastik tidak sekadar berbicara pendapatan negara. Ia menekankan dampak negatif komoditas terhadap lingkungan dan makhluk hidup yang sudah tergambar dari pemberitaan di berbagai negara.

Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen yang mampu menekan konsumsi kantong plastik. Selama ini, sebenarnya sudah ada berbagai upaya dengan tujuan tersebut. Di antaranya, dilarang secara penuh berdasarkan peraturan daerah (perda).

Sebanyak 22 daerah/ kota sudah mengadopsi regulasi pelarangan penggunaan konsumsi kantong plastik. Dimulai dari Pemerintah Kota Banjarmasin, Bogor, Bali, Balikpapan dan Jakarta yang dimulai pada tahun lalu.

Tapi, Sri menilai, kebijakan tersebut menimbulkan kesulitan baru. Misalnya, dari sisi penegak hukum, pemerintah daerah sulit menetapkan sanksi. "Resistensi pengusaha pun keras karena tidak boleh berproduksi sama sekali," ucapnya.

Upaya kedua dilakukan oleh ritel. Beberapa toko kini sudah menerapkan biaya tambahan kepada konsumen ketika mereka menginginkan belanja dengan kantong plastik.

Hanya saja, Sri mengatakan, dua upaya yang sudah berjalan ini dilakukan secara individual oleh pengusaha maupun pemerintah daerah sendiri-sendiri. Akibatnya, tidak ada keseragaman dan tidak ada pertanggungjawaban penerimaan yang jelas.  "Usulan kami, pengenaan cukai," katanya.

Dengan cukai, Sri menekankan, ada keseragaman pelaksanaan di wilayah Indonesia pabean. Pemerintah pun akan dengan mudah mempertanggung jawabkan penerimaan dalam APBN. Selain itu, ada mekanisme kontrol dan penegakan hukum melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu yang sudah memiliki rekam jejak dari penerapan cukai rokok.

Di sisi lain, Sri menambahkan, produsen juga secara bertahap memiliki opsi produksi barang-barang yang lebih ramah lingkungan. Sebab, pemerintah akan bedakan tarif cukai plastik berdasarkan tingkat ramah lingkungan tiap produk. "Tarif yang ramah lingkungan pastinya lebih kecil dan bahkan mungkin tidak ada," ujarnya.

Kemenkeu mengusulkan cukai kantong plastik diterapkan pada produk yang memiliki ketebalan di bawah 75 mikron atau kerap disebut tas kresek. Tapi, cukai dikecualikan dalam bentuk pembebasan apabila barang tersebut ditujukan untuk ekspor dan kemasan non pabrikasi, misal untuk mengemas gula.

Subjek cukainya adalah pabrikan dan importir. Mereka membayar cukai ketika barang tersebut keluar dari pabrik dengan pembayaran berkala tiap bulan. "Untuk barang impor, dikenakan saat mereka masuk dari pelabuhan, sebelum masuk kepabeanan kita," ujar Sri.

Pengawasan dilakukan oleh DJBC Kemenkeu melalui registrasi pabrikan, pelaporan produksi, pengawasan fisik dan audit.

Sementara itu, Anggota Komisi XI dari Fraksi PKS Anis Byarwati menuturkan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi komoditas yang memang berpotensi menimbulkan dampak negatif. Tapi, ia mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi potensi efek dari aturan cukai.

Salah satunya yang disampaikan Anis adalah potensi kenaikan harga kantong plastik di tingkat konsumen, sehingga memberatkan masyarakat. "Harus ada penggantinya," ucapnya.

Tapi, Anis menambahkan, produk substitusi yang ditetapkan pun juga harus diperhatikan. Menurutnya, mengutip hasil riset di Inggris, tas tebal dari kain dan kertas yang kerap digunakan sebagai pengganti kantong plastik juga berpotensi merusak lingkungan. Khususnya ketika sudah dipakai sebanyak sembilan hingga 26 kali.

Di sisi lain, konsumsi plastik sampah juga bisa saja meningkat. Kembali mengutip hasil riset dari California, Anis menjelaskan, masyarakat yang selama ini banyak menggunakan kantong plastik sekali pakai sebagai wadah sampah kini beralih ke plastik sampah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement