REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2,2 persen sepanjang 2019 masih lebih baik dibandingkan negara berkembang lain. Beberapa di antara mereka menghadapi defisit lebih dalam dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan pencapaian Indonesia.
Kemenkeu mencatat, besaran defisit APBN sampai akhir 2019 mencapai Rp 353 triliun atau 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 269,4 triliun atau 1,82 persen terhadap PDB. Realisasi defisit tahun lalu juga lebih dalam dibandingkan proyeksi semula dalam Undang-Undang APBN 2019, Rp 296 triliun atau 1,84 dari PDB.
Sri memberikan contoh beberapa negara yang mengalami defisit lebih dalam, termasuk India. Negara yang dikenal sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di dunia ini harus menghadapi defisit APBN hingga 7,5 persen, lebih parah dibandingkan tahun 2018 yaitu 6,4 persen.
"Vietnam pun masih kontraksi 4,4 persen, meskipun pertumbuhannya memang tinggi, sekitar tujuh persen," ucapnya dalam konferensi pers kinerja APBN 2019 di kantornya, Jakarta, Selasa (7/1).
Sri menyebutkan, defisit APBN Indonesia yang masih terjaga dikarenakan pemerintah mampu memfungsikan APBN sebagai countercyclical. Dampaknya, instrumen ini mampu memberikan stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi.
Setidaknya ada dua upaya pemerintah dalam mengoptimalkan peran APBN 2019. Pertama, memberikan insentif perpajakan, sementara fungsi Automatic stabilizer Pajak berjalan dalam merespon perekonomian. Kedua, memprioritaskan belanja negara untuk sektor produktif dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.
Pada 2020, Sri menilai, perekonomian global diperkirakan akan membaik setelah mengalami perlambatan signifikan pada 2019 sehingga pemerintah menargetkan defisit APBN dapat menyentuh 1,76 persen. Tapi, masih ada beberapa risiko yang dapat mempengaruhi outlook. "Di antaranya ketidakpastian perang dagang dan perlambatan beberapa negara berkembang maupun besar seperti India dan Cina," katanya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan, salah satu risiko yang akan terus dipantau pemerintah adalah gejolak harga minyak. Pada awal tahun, dinamika harga minyak dunia sudah terasa seiring dengan peningkatan tensi di Timur Tengah dengan Amerika.
Suahasil menyebutkan, dampak dari suatu kejadian ke harga minyak dunia cenderung cepat. Oleh karena itu, pemerintah terus memperhatikan tren ini. "Tapi, dampak ke APBN tentu akan terpengaruh dari variabel lain. Kursnya gimana, lifting minyak dan gas seperti apa. Itu semua kita perhatikan terus," ujarnya.