Jumat 03 Jan 2020 07:42 WIB

Antam, Pionir Hilirisasi Pertambangan Berorientasi Ekspor

Antam pionir hilirisasi industri pertambangan di Indonesia sejak berdiri 1968.

Rep: Dede Suryadi (swa.co.id)/ Red: Dede Suryadi (swa.co.id)
Aprilandi Hidayat Setia, Direktur Niaga PT Aneka Tambang Tbk. (Antam)
Aprilandi Hidayat Setia, Direktur Niaga PT Aneka Tambang Tbk. (Antam)

PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) telah menjadi pionir dalam hilirisasi industri pertambangan di Indonesia dan berorientasi ekspor sejak berdiri pada 1968. Komoditas utama yang diproduksi Antam adalah bijih nikel, feronikel, emas, perak, bauksit, alumina, batu bara, serta jasa pengolahan dan pemurnian logam mulia.

Antam terintegrasi secara vertikal mulai dari ekplorasi, penambangan, peleburan, pengolahan, pemurnian, hingga pemasaran dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG),” kata Aprilandi Hidayat Setia, Direktur Niaga Antam.

Saat ini, hampir semua produk Antam telah diekspor. Di antaranya, bauksit, feronikel (bahan baku stainless steel), emas, perak, dan bijih nikel. Produk feronikel Antam diekspor ke India, Korea Selatan, Taiwan, dan China. Produk emasnya, selain dijual di pasar domestik, juga diekspor ke Singapura. Perak Antam pun diekspor ke Singapura. Adapun bijih nikel Antam diekspor ke China, Jepang, dan Ukraina.

Menurut Aprilandi, secara umum perang dagang membuat harga komoditas fluktuatif. Untuk produk logam mulia, orang mencari logam mulia sebagai alternatif untuk berinvestasi. Perang dagang dan kondisi The Fed ini juga mengakibatkan harga emas fluktuatif. “Namun, kami justru mengalami kenaikan ekspor dengan adanya kondisi ini,” ujarnya.

Dikatakannya, perkembangan nikel lebih dipengaruhi adanya supply and demand. Akhir-akhir ini ada larangan memasok nikel mentah (raw material). Hal ini mengakibatkan harga nikel menjadi naik. “Kami menjual produk sesuai dengan harga internasional, maka ketika harga naik, kami mendapatkan keuntungan.”

Tantangan ekspor lainnya adalah adanya perubahan regulasi ekspor bijih nikel secara terbatas yang akan mulai berlaku efektif pada awal 2020. Kebijakan ini akan memengaruhi kinerja penjualan ekspor bijih mineral. Potensi tantangan ekspor tersebut akan terkompensasi seiring dengan pertumbuhan kapasitas produksi feronikel Antam yang berorientasi pasar ekspor, sejalan dengan penyelesaian proyek pabrik feronikel Antam di Halmahera Timur, Maluku Utara, pada 2020.

Lalu, keterbatasan mendapatkan sumber emas di dalam negeri juga menjadi tantangan tersendiri. Pembelian bahan baku emas domestik pun dikenakan PPH 0,45% dan PPN 10%. Hal tersebut memengaruhi biaya perolehan bahan baku emas dari dalam negeri sehingga kurang kompetitif jika dibandingkan dengan bahan baku emas dari impor. Kemudian, terbatasnya containerize di Indonesia untuk mendukung proyeksi pertumbuhan ekspor feronikel Antam serta tingginya biaya logistik antarpulau juga menjadi tantangan.

Belum lagi tantangan kompetisi dengan pemain lain. Antam pun memiliki strategi dengan tetap menjaga biaya produksi yang harus lebih efisien daripada kompetitor. Pemenang untuk sektor komoditas adalah mereka yang bisa mempertahankan biaya produksinya.

Antam akan terus menjaga harga nikel dan feronikel agar bisa bersaing. Sementara untuk bauksit, Antam masih memiliki kesempatan mengekspor bahan mentah, karena pendapatannya juga besar melalui produk tersebut. Adapun untuk logam mulia, Antam akan terus mencari sumber emas baru untuk diolah.

Kemudian, apa saja produk unggulannya? “Di 2018, produk yang paling banyak dilihat dari revenue-nya adalah logam mulia sebanyak 67%, bijih nikel dan feronikel sebanyak 20%, sisanya bauksit, dll.,” kata Aprilandi. Kinerja Antam di 2018 juga tumbuh. Penjualan perseroan, misalnya, tumbuh 99% dari tahun sebelumnya, dari Rp 12,65 triliun di 2017 menjadi Rp 25,24 triliun di 2018.

Aprilandi menjelaskan, pada periode 2014-2016, ekspor bijih nikel dan bauksit Antam mengalami penurunan terkait dengan implementasi pelarangan ekspor bijih mineral. Namun pada 2017, ekspor bijih nikel dan bauksit tumbuh seiring didapatkannya izin ekspor terbatas bijih mineral.

Ekspor bijih nikel pada 2017 mencapai 2,7 ribu WMT, sementara pada 2018 mencapai 4 ribu WMT. Ekspor bauksit di 2017 mencapai 767 ribu WMT, sementara pada 2018 sebesar 920 ribu WMT. Untuk feronikel, kuantitas ekspornya 21,8 ribu ton pada 2017 dan pada 2018 mencapai 24 ribu ton. Sementara ekspor emas 6,7 ribu kg di 2018, sedangkan di 2017 sebesar 6,4 ribu kg.

Yang dilakukan Antam saat ini adalah membangun proyek pabrik feronikel di Halmahera Timur (P3FH). Di pabrik tersebut, Antam akan mengolah bijih nikel menjadi produk feronikel dengan kapasitas produksi per tahun mencapai 13.500 ton nikel dalam bentuk feronikel (Tni).

Estimasi biaya yang dikeluarkannya mencapai Rp 3,5 triliun untuk line satu. “Sampai Juni 2019, kemajuan konstruksi proyek tersebut telah mencapai 97%,” ujar Aprilandi.

Antam kini tengah membangun proyek smelter grade alumina refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat. Melalui proyek ini, Antam akan mengolah bijih bauksit menjadi smelter grade alumina (SGA) dengan estimasi biaya proyek 850 juta dolar AS untuk tahap pertama.

Kapasitas produksi yang dimiliki bisa mencapai 1 juta ton SGA per tahun. Ini merupakan kerjasama antara Antam dan Inalum. Targetnya akan mulai berproduksi pada 2022. (*)

Dede Suryadi dan Anastasia A.S.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement