REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia diperkirakan mempertahankan suku bunga acuan pada level lima persen. Hal ini guna mengantisipasi pelebaran defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal empat 2019.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan Bank Indonesia akan mengambil langkah tersebut setelah sepanjang semester dua 2019 menerapkan kebijakan yang akomodatif. Hal ini tercermin dari empat kali pemangkasan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps) sepanjang Juli-Oktober 2019.
“Suku bunga BI saat ini masih konsisten dengan upaya Bank Indonesia menjaga defisit transaksi berjalan pada level yang sehat, mengingat ekspektasi defisit transaksi berjalan pada kuartal IV/2019 akan kembali melebar dari kuartal sebelumnya,” ujarnya, Kamis (19/12).
Namun, Josua menyebut, Bank Indonesia perlu menjaga interest rate difference di tengah ekspektasi atas inflasi masih terkendali dalam jangka pendek dan nilai tukar rupiah stabil. Hal ini dengan mempertimbangkan The Fed berpotensi akan mempertahankan suku bunga acuan pada kisaran 1,5 persen sampai 1,75 persen sepanjang 2020.
“Interest rate difference yang ditujukan untuk tetap menjaga daya tarik aset keuangan rupiah, sehingga tetap bisa mendorong aliran modal masuk yang selanjutnya dapat meningkatkan likuiditas perbankan,” ucapnya.
CAD berpeluang melebar pada kuartal empat 2019 tak lepas dari pencatatan defisit pada neraca perdagangan November 2019 sebesar 1,33 miliar dolar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang November 2019 mengalami defisit akibat masih tingginya impor migas dan kenaikan impor barang konsumsi jelang perayaan Natal dan Tahun Baru.
Sementara Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menambahkan Bank Indonesia sebaiknya masih akan tertahan lima persen karena memberikan imbal hasil yang menarik untuk memegang instrumen rupiah dibandingkan negara lain. Jika Bank Indonesia kembali memangkas suku bunga acuannya bulan ini perlu mempertimbangkan dinamisme global tahun depan.
“Risikonya nanti ada di global, kalau global bergejolak dan tingkat pengembalian relatif tipis maka ada risiko. Namun sejauh ini global masih aman,” ucapnya.