Ahad 01 Dec 2019 11:11 WIB

Menteri ESDM Kaji Fleksebilitas Skema Investasi Migas

Fleksibilitas skema ini menanggapi sinyal positif meningkatnya investasi migas.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan sedang mengkaji fleksibilitas skema investasi migas.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan sedang mengkaji fleksibilitas skema investasi migas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri ESDM Arifin Tasrif mengkaji fleksibilitas mengenai skema investasi minyak dan gas bumi (migas) menanggapi sinyal positif meningkatnya investasi hulu migas semakin terbuka.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali mempertimbangkan hadirnya kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi (Cost Recovery) bagi wilayah kerja baru dan terminasi. Skema tersebut akan menjadi opsi bersama sistem fiskal gross split bagi para investor migas, menurut pernyataan resmi Kementerian ESDM di Jakarta, Ahad (1/12).

Baca Juga

Arifin mengungkapkan perlu adanya evaluasi terhadap pola bisnis serta investasi di sektor migas. Evaluasi ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk segera memetakan regulasi yang menghambat laju investasi.

"Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang migas. Kami tanyakan, mana yang prefer, ada dua (Gross Split dan Cost Recovery)," ungkap Arifin menceritakan hasil pertemuan dengan para pelaku usaha sektor migas.

Sebenarnya skema Gross Split pun menjanjikan. Pemerintah sendiri mewajibkan perusahaan migas menerapkan skema Gross Split di wilayah kerja baru dan terminasi sejak 1 Januari 2017. Hingga saat ini, sudah ada 45 WK migas yang menggunakan skema tersebut, yakni 17 WK hasil lelang, 23 WK terminasi dan 5 WK amandemen. Dari jumlah tersebut, Pemerintah memperoleh dana eksplorasi sebesar 2,71 miliar dolar AS atau sekitar Rp 40,7 triliun. Sementara untuk bonus tanda tangan sebesar 1,19 miliar dolar AS atau sekitar Rp 17,8 miliar.

Namun kedua skema fiskal tersebut, sambung Arifin, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada investor yang lebih memilih skema kontrak cost recovery untuk lapangan yang terletak di daerah sulit dan berisiko tinggi karena skema tersebut dinilai lebih rasional.

"Semakin risk dan daerah remote, mereka pilih PSC (Cost Recovery). Komponen PSC itu bisa reasonable. Itu kami sudah pengalaman PSC. Meski PSC juga ada satu keluhan, tiap tahun perlu di-review dan prosesnya lama," jelasnya.

Sebaliknya, Gross Split dianggap lebih cocok untuk wilayah kerja eksisting karena memiliki tingkat kepastian bisnis yang lebih tinggi. "Kalau Gross Split kan mereka senang terutama existing field, karena sumbernya sudah jelas, potensi jelas dan risk-nya kurang," tegas Arifin.

Melihat pertimbangan tersebut Pemerintah tengah mengkaji kedua penawaran ini lantaran banyaknya masukan dari para pelaku bisnis agar memperbaiki regulasi mengenai skema perhitungan bagi hasil yang terbuka. "Jadi ke depan kita lakukan perbaikan dan kami terbuka dengan investor. Kita sedang membahas revisi Permen ESDM," kata Arifin.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement