REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membatalkan penerbitan dua surat berharga negara (SBN) pada Desember. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan ini diambil mengingat keseluruhan pembiayaan untuk sepanjang 2019 sudah terpenuhi setelah kebijakan frontloading.
Sri mengatakan, kegiatan lelang SBN yang sudah dilakukan sejak awal tahun sudah memenuhi untuk menutupi defisit sesuai estimasi sampai akhir tahun. "Jadi, kita menghentikan surat utang negara (SUN)," tuturnya ketika ditemui usai menghadiri CEO Forum di Jakarta, Kamis (28/11).
Sampai akhir tahun, Kemenkeu memproyeksikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 berada dalam rentang dua sampai 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Prediksi ini naik dari target yang ditetapkan pemerintah pada awal tahun, sebesar 1,84 persen dari PDB.
Sri mengatakan, pemenuhan kebutuhan pemerintah untuk menutupi defisit terdiri dari berbagai sumber. "Baik berasal dari market dalam dan luar negeri, maupun pinjaman bilateral dan multilateral," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
Berdasarkan data yang dikutip dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), penarikan utang melalui SBN secara neto per 20 November 2019 sudah mencapai Rp 457,66 triliun. Pencapaian itu telah melebihi target, yakni hingga 102,5 persen dari target baru yang sebesar Rp 446,49 triliun.
Sementara itu, secara bruto, SBN yang sudah diterbitkan oleh pemerintah per Januari sampai 20 November sebesar Rp 894 triliun. Angka ini 98,88 persen dari target baru, Rp 904,08 triliun.
Dilansir di situs DJPPR Kemenkeu, lelang penerbitan SUN seharusnya dilaksanakan pada 3 Desember 2019, sementara SBSN diterbitkan pada 10 Desember 2019.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, penarikan SBN yang melampaui target menggambarkan bahwa shortfall penerimaan pajak memang terus melebar. Diperkirakan, sampai akhir tahun, besarannya hampir menyentuh Rp 200 triliun.
Tauhid menyebutkan, penerbitan SBN kini menjadi cara cepat pemerintah untuk menambal defisit secara fiskal. "Kalau bukan jual SBN, ya pembiayaan fiskal kita uangnya dari mana?" ujarnya ketika ditemui usai diskusi, Selasa (26/11).
Kebijakan tersebut disebut Tauhid menimbulkan permasalahan besar. Penjualan SBN yang melebihi target itu nyatanya belum membuat sumbangan belanja pemerintah berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya, pemerintah terlalu banyak menggunakan hasil penerbitan SBN untuk belanja barang dan jasa, bukan infrastruktur.
Tauhid mengatakan, kekurangan terbesar dari SBN adalah kesulitan mengatur pipeline proyeknya. Apakah memang untuk infrastruktur atau yang lain. "Karena kita memang terlalu mudah (untuk menerbitkan SBN). Nggak ada uang, terus (menerbitkan) SBN," ujarnya.