Sabtu 16 Nov 2019 02:30 WIB

Pengusaha Dukung Pemerintah Perbaiki Harga EBT

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Satria K Yudha
Area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu Unit 3 dan 4, Tanggamus, lampung, Jumat (16/6).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu Unit 3 dan 4, Tanggamus, lampung, Jumat (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi menyambut positif upaya pemerintah untuk memperbaiki kebijakan harga energi baru dan terbarukan (EBT) dan mengaturnya melalui peraturan presiden yang ditargetkan diterbitkan awal 2020. 

 

Prijandaru menilai sudah sewajarnya pemerintah turun tangan secara total dalam menjembatani kesenjangan harga EBT.  "Tidak bisa diperlakukan dalam hubungan B2B antara PLN dengan pengembang lagi karena ke depannya yang akan menikmati energi bersih adalah masyarakat. Bagaimanapun juga, kami paham dalam menentukan harga beli, PLN punya undang-undang sendiri," ujar Prijandaru dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, di Jakarta, Jumat (15/11)

Menurut Prijandaru, pihaknya sejak awal ikut berkontribusi dalam pengembangan industri EBT di Tanah Air. Kata dia, kendala pokok yang dihadapi para pengembang listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu. 

Pasalnya, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu ada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).

"Masalahnya klise dari dulu. Bagaimanapun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara PLN untuk menentukan harga juga punya undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung dari pemerintah," ucap Prijandaru.

Prijandaru menilai energi panas bumi sangat seksi sehingga banyak pengusaha, baik pemain besar maupun yang masih baru, tertarik mengelola sumber energi ini. Namun menurutnya, pengusaha tidak mau rugi.

"Dengan risiko begitu besar dalam proses produksinya, tentu mereka ingin mendapatkan imbal hasil yang paling pas," kata Prijandaru.

Prijandaru menilai Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan energi terbarukan. Prijandaru memaparkan, saat ini potensi panas bumi Indonesia mencapai 25 ribu MW (25 GW), namun yang terpakai baru 2000 MW (2 GW). 

Masalahnya, kata dia, kendati sumbernya berlimpah seperti energi fosil, satu-satunya konsumen panas bumi di Indonesia hanyalah PLN karena panas bumi tidak mungkin diekspor. Prijandaru menyampaikan sumber energi panas bumi di Indonesia sendiri mencapai lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia.

"Cadangan panas bumi di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia," ungkap Prijandaru.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma juga mendukung peninjauan kembali pengaturan pembelian tenaga listrik dari EBT yang telah ditetapkan pemerintah paling tinggi 85 persen dari BPP pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat. 

Selain itu, Surya mendukung pemberlakukan sistem tarif tetap, bukan negosiasi seperti yang selama ini berlaku dan dinilai memberatkan PLN.

"Masalah harga merupakan salah satu tantangan pengembangan EBT yang harus kita pecahkan," katanya.

Surya berharap pemerintah konsisten untuk tidak mengubah-ubah regulasi karena akan menciptakan ketidakpastian di bidang hukum dan bisnis. Surya menyatakan, sejauh ini METI sebagai wadah bersatunya para pelaku industri EBT konsisten mendukung program pengembangan dan percepatan EBT menuju target 23 persen pada 2025.

"Kami akan terus mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan menuju 23 persen pada 2025 dan menjadi 30 persen pada 2050," ungkap Surya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement