REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi PT Tower Bersama Infrastructure Tbk mencatat pendapatan sebesar Rp 3,469 triliun untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2019. Sementara EBITDA perseroan tercatat sebesar Rp 2,956 triliun.
Per 30 September lalu, perusahaan berkode saham TBIG ini memiliki 27.789 penyewaan dan 15.485 site telekomunikasi yang terdiri dari menara telekomunikasi sebanyak 15.396 dan 89 jaringan DAS. Dengan total penyewaan pada menara telekomunikasi sebanyak 27.700, maka rasio kolokasi perseroan menjadi 1,80 sebelumnya pada akhir 2018 hanya 1,69.
CEO TBIG Hardi Wijaya Liong menjelaskan, pelanggan telekomunikasi TBIG terus melakukan densifikasi jaringan mereka di seluruh negeri. Hal itu membuat order kolokasi perusahaan meningkat tajam.
Dirinya melanjutkan, pada kuartal III 2019, pertumbuhan penyewaan organik perusahaan tercepat dibandingkan sebelumnya. "Kami menambahkan 1.342 penyewaan kotor yang terdiri dari 196 site telekomunikasi dan 1.146 kolokasi. Hal ini membuat penambahan organik kotor kami sebanyak 2.578 penyewaan untuk sembilan bulan pertama 2019. Kami berharap untuk melebihi target kami tahun ini sebesar 3.000 penyewaan," ujar Hardi melalui siaran pers, Rabu, (13/11).
Per 30 September 2019, ia menyebutkan, total pinjaman perusahaan sebesar Rp 21.122 miliar. Jumlah itu sebelumnya dalam mata uang dolar AS, namun telah dilakukan lindung nilai.
Berikutnya total pinjaman senior (gross senior debt) sebesar Rp 13,186 triliun. Dengan saldo kas yang mencapai Rp 333 miliar, maka total pinjaman bersih (net debt) menjadi Rp 20,789 triliun dan total pinjaman senior bersih (net senior debt) perseroan menjadi Rp 12,853 triliun.
Menggunakan EBITDA kuartal III 2019 yang disetahunkan, Hardi menyebutkan, rasio pinjaman senior bersih terhadap EBITDA adalah 3,2x. Kemudian total pinjaman bersih terhadap EBITDA yakni 5,1x.
"TBIG masih memiliki ruang cukup untuk pinjaman, berdasarkan pembatasan keuangan untuk tidak lebih tinggi dari 5,0x, untuk rasio pinjaman senior yang diukur dengan menggunakan kurs lindung nilainya terhadap EBITDA bulan terakhir yang disetahunkan untuk pinjaman bank. Tidak lebih tinggi pula dari 6,25x untuk rasio total pinjaman terhadap EBITDA kuartal terakhir yang disetahunkan untuk obligasi," jelas Hardi.
Chief Financial Officer TBIG Helmy Yusman Santoso menambahkan, perusahaannya memiliki rekam jejak baik dalam mengakses berbagai sumber pendanaan. "Pada awal Juli, kami membayar lebih cepat sepenuhnya pinjaman berjangka kami dan menggantinya dengan Fasilitas Revolving (“RCF”) baru sebesar 375 juta dolar AS berjangka waktu 5,5 tahun bullet dan penurunan biaya bunga sebesar 25 basis poin (bps)," tuturnya.
Hal itu, lanjutnya, memperpanjang jangka waktu rata-rata struktur utang perusahaan dengan tingkat bunga kompetitif. TBIG, kata dia, terus mematuhi strategi konservatif untuk melindung nilai seluruh utangnya.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) baru-baru ini, Helmy mengatakan, para pemegang saham menyetujui pemecahan nilai nominal saham atau stock split dengan rasio 1:5. Hal itu mengubah nominal saham dari Rp 100 per saham menjadi Rp 20 per saham.
Jumlah saham beredar TBIG pun akan berubah dari 4.531.399.889 menjadi 22.656.999.445 saham. Perseroan telah menerima persetujuan dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Selanjutnya hari pertama perdagangan saham dengan nilai nominal baru akan dilakukan pada 14 November 2019.