Selasa 15 Oct 2019 02:10 WIB

Pabrikan Besar Asing Diminta Bayar Cukai Golongan I

Tarif cukai golongan II SPM dan SKM lebih murah 50–60 persen dibandingkan golongan I.

Dua perempuan mengoperasikan mesin linting pembuat rokok kretek.
Foto: Antara/Eric Ireng
Dua perempuan mengoperasikan mesin linting pembuat rokok kretek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) meminta pemerintah merumuskan kebijakan cukai yang tepat. Dengan begitu, tak ada celah yang bisa dimanfaatkan pabrikan rokok besar asing untuk menyiasati aturan tersebut.

Ketua Harian Formasi Heri Susianto mengusulkan agar Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) digabung produksinya menjadi 3 miliar batang per tahun. Melalui cara itu pabrikan besar akan membayar tarif cukai rokok tertinggi, yakni golongan I.

“Pengabungan SKM dan SPM supaya pabrik rokok besar asing mainnya harus di atas. Ada pabrik besar asing produk SKM-nya golongan satu, tapi SPM masuk layer dua. Itu perusahaan asing dan golongan gede, tapi bayarnya sama dengan saya (perusahaan kecil),” ujar Heri di Jakarta, Senin (14/10).

Menurut Heri, siasat yang digunakan dengan membatasi volume produksinya agar tetap di bawah golongan I, yakni 3 miliar batang per tahun sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi. Padahal tarif cukai golongan II SPM dan SKM lebih murah 50 – 60 persen dibandingkan golongan I. “Kondisi ini sama halnya naik transportasi kelas bisnis tapi bayarnya ekonomi,” kata Heri.

Heri mencontohkan tarif cukai di segmen SPM yang memiliki ketimpangan sosial sehingga menekan pabrikan kecil. Pada golongan I di segmen rokok mesin SPM, salah satu produk menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM lainnya memakai tarif Rp 370 per batang atau 40 persen lebih rendah dari tarif golongan I.

Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. Heri menyebutkan contoh produk SKM pabrikan besar lokal dan asing yang menggunakan cukai berbeda.

Sebelumnya Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) merilis data adanya potensi kehilangan pendapatan negara akibat pabrikan rokok besar membayar tarif cukai murah mencapai Rp 926 miliar. Data INDEF bahkan menunjukkan terdapat pabrikan asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya juh lebih murah.

 

“Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang,” ungkap Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad.

Sejumlah kalangan lantas meminta pemerintah menggabungkan batasan produksi SKM dan SPM. Kebijakan ini bukan untuk menggabungkan cukai SKM dan SPM dalam satu tarif. Namun, pabrikan manapun yang jumlah produksi SKM dan SPM secara kumulatif telah mencapai tiga miliar batang harus dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori karena mereka termasuk perusahaan besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement