REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menyebutkan downside risk atau potensi yang merugikan dari ekonomi global kawasan Asia Timur dan Pasifik semakin melebar. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut diproyeksikan terus mengalami perlambatan dari 5,8 persen pada 2019 menjadi 5,7 persen dan 5,6 persen pada dua tahun berikutnya.
Proyeksi tersebut tertuang dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019 bertajuk ‘Weathering Growing Risk’, yang dirilis Bank Dunia, Rabu (10/10).
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Andrew Mason menjelaskan, setidaknya ada empat downside risk. Pertama, peningkatan tensi perang dagang antara China dengan Amerika Serikat (AS) sampai dengan saat ini.
"Dampaknya, pertumbuhan ekonomi kawasan melambat semakin dalam seiring dengan peningkatan ketidakpastian investasi dan perdagangan yang melempem," ujarnya dalam teleconference dari Kantor Bank Dunia Bangkok.
Perselisihan perdagangan yang berlarut-larut dapat membawa risiko bagi ekonomi berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Di antaranya, Mason menyebutkan, value chain global menjadi relatif tidak fleksibel.
Di tengah perang dagang, banyak perusahaan mencari cara untuk menghindari tarif AS. Baik dengan memindahkan seluruh jalur produksi keluar China.
Tapi, Mason menilai, negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik belum dapat memanfaatkan potensi tersebut. Sebab, daya serap mereka cenderung kecil mengingat infrastruktur yang belum memadai.
Dalam laporan Bank Dunia bahkan menyebutkan, negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik tidak mungkin menggantikan China dalam rantai pasokan global. "Baik itu dalam jangka pendek ataupun menengah," ucap Mason.
Downside risk kedua dalam laporan Bank Dunia adalah perlambatan China, AS dan Euro Area atau negara-negara di Eropa yang lebih tajam dibandingkan ekspektasi. Brexit yang belum menemukan titik terang juga menyebabkan perlambatan aktivitas global lebih jauh.
Mason menjelaskan, perlambatan pertumbuhan global akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap barang-barang dari negara-negara berkembang Asia Timur dan Pasifik. Perlambatan yang tajam dan simultan bisa juga secara substansial menurunkan harga komoditas. Kondisi ini berdampak negatif pada negara eksportir komoditas, seperti Indonesia.
Di samping itu, Brexit yang belum mencapai titik kesepakatan dapat melemahkan hubungan dagang antara kawasan Asia Timur dan Pasifik dengan Inggris. Beberapa ekonomi kecil di wilayah tersebut bahkan berpotensi kehilangan akses preferensial dan menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi untuk masuk pasar Inggris.
Downside risk ketiga, kawasan ini tetap rentan terhadap risiko perubahan mendadak dalam kondisi keuangan global. Mason menjelaskan, perkembangan dalam beberapa bulan terakhir telah mengembalikan volatilitas pasar keuangan.
Mata uang pasar negara berkembang kembali berada di bawah tekanan seiring dengan upaya investor menyeimbangkan kembali portofolio mereka dengan aset tradisional. "Misalnya, treasury AS (obligasi pemerintah AS)," ucap Mason.
Downside risk terakhir yang disebutkan Bank Dunia adalah tingkat utang yang tinggi dan naik di beberapa negara membatasi kebijakan fiskal dan moneter. Ekonomi dengan utang domestik yang tinggi ini menghadapi prospek akumulasi utang lebih lanjut dari kebijakan pelonggaran suku bunga.
Meski pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik melambat, ekonomi Indonesia tetap terlihat kuat. Dalam laporan Bank Dunia yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019-2021 terus tumbuh positif, yakni dari 5,0 persen menjadi 5,1 persen dan 5,2 persen.
Kepala Ekonom Bank Dunia di Indonesia, Frederico Gil Sander, mengatakan bahwa pertumbuhan Indonesia yang positif disebabkan proyeksi perbaikan investasi. Khususnya setelah presiden baru sudah resmi terpilih pada Mei lalu.
"Kita ekspektasikan akan membaik pada 2020 hingga 2021," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Bank Dunia Indonesia.
Selain itu, Sander menambahkan, pemerintah kini sedang berupaya membuat kebijakan yang bertujuan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Kebijakan yang dimaksudnya adalah mengurangi perizinan yang dinilai menghambat proses investasi.
Faktor lain yang turut memberikan pengaruh besar adalah demografi . Frederico mengatakan, jumlah penduduk Indonesia yang banyak membuat pasar tenaga kerja memiliki kuantitas melimpah. Hanya saja, pemerintah masih harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar lebih dapat meningkatkan produktivitasnya.