Kamis 05 Sep 2019 16:13 WIB

Revisi Usulan Pajak, OJK akan Koordinasi dengan Pelaku Usaha

Poin penting yang masuk dalam revisi di antaranya penurunan PPh Badan.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
OJK
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
OJK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan menyusun rancangan undang-undang (RUU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Adapun beberapa poin penting yang akan masuk dalam RUU antara lain pengaturan tarif PPh, yakni penurunan tarif PPh Badan menjadi 20 persen dari 25 persen dan dilakukan bertahap mulai 2021. RUU ini juga memberikan penurunan tarif yang lebih rendah tiga persen bagi perusahaan go public sehingga tarif PPh menjadi 17 persen atau setara dengan Singapura.

Menanggapi usulan pemerintah tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) siap berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. "Kami siap berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan stakeholder lainnya termasuk Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) apabila diperlukan," ujar Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/9).

Baca Juga

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan nantinya RUU akan mengakomodir semua UU pajak, seperti PPh, PPN dan KUP. Adapun poin penting lainnya yang akan masuk dalam RUU ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian.

Pertama, dalam RUU baru ini pemerintah menghapuskan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri dengan catatan dividen tersebut diinvestasikan di Indonesia. Selama ini, bagi wajib pajak (WP) pemilik saham di atas 25 persen maka tetap bebas. Sedangkan di bawah 25 persen terkena tarif PPh final 10 persen

Kedua, dalam RUU baru ini juga pemerintah mengatur mengenai WP orang pribadi berdasarkan rezim world wide menjadi teritorial. Bagi WNI yang tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari maka tidak lagi menjadi subjek pajak Indonesia. Begitu juga bagi WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia maka tidak wajib melaporkan subjek pajaknya ke negara asal.

Ketiga, RUU baru mengubah sanksi dua persen dari kegiatan pembetulan SPT tahunan maupun masa menjadi tarif prorata yang mengacu suku bunga pasar ditambah lima persen. Misalnya, kurang bayar selama dua bulan, maka suku dua bulan per 12 dikalikan suku bunga pasar ditambah lima persen. Sanksi ini bagi WP yang melakukan pembetulan. Sedangkan berdasarkan penetapan atau ditemui jajaran DJP maka sanksinya akan lebih besar. 

Keempat, RUU baru ini menurunkan sanksi denda untuk faktur pajak yang yang tidak dibuat secara tepat waktu. Sanksinya diturunkan menjadi satu persen dari yang sekarang berlaku dua persen.

Kelima, RUU baru ini memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak terutama bagi perusahaan kena pajak (PKP) yang selama ini tidak membukukan produk yang dihasilkan. Intinya, berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU ini sekarang bisa dikreditkan, diklaim untuk kurangi kewajiban pajak. 

Keenam, RUU baru ini pemerintah menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian, seperti tax holiday, tax allowance, super deduction, fasilitas PPh untuk KEK, dam PPh untuk SBN di pasar internasional. Sehingga, seluruh fasilitas atau insentif pajak ini miliki landasan hukum dan konsistensi landasan hukum dalam satu peraturan. 

Ketujuh, RUU baru ini akan menetapkan perusahaan digital asing seperti Amazon dan Google bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN sebesar 10 persen.

Kedelapan, RUU ini tidak mengatur soal badan usaha tetap (BUT) bagi perusahaan berbasis digital internasional seperti Amazon dan Google agar tidak harus hadir perusahaan cabangnya di Indonesia, namun pemerintah tetap mewajibkan pengenaan pajaknya. Tujuannya, supaya ada level playing field terhadap kegiatan digital terutama perusahaan besar yang selama ini beroperasi cross border.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement